Google Translator

English French German Spain Italian Dutch

Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified

Jumat, 11 Desember 2009

Etika, Moral dan Profesi Advokat

Etika, Moral dan Profesi Advokat

Kata etika berasal dari bahasa Yunani, ethos atau ta etha yang berarti tempat tinggal, padang rumput, kebiasaan atau adat istiadat. Oleh filsuf Yunani, Aristoteles, etika digunakan untuk menunjukkan filsafat moral yang menjelaskan fakta moral tentang nilai dan norma moral, perintah, tindakan kebajikan dan suara hati. (E.Y. Kanter 2001:2)

Kata yang agak dekat dengan pengertian etika adalah moral. Kata moral berasal dari bahasa Latin yaitu mos atau mores yang berarti adat istiadat, kebiasaan, kelakuan, tabiat, watak, akhlak dan cara hidup. Secara etimologi, kata etika (bahasa Yunani) sama dengan arti kata moral (bahasa Latin), yaitu adat istiadat mengenai baik-buruk suatu perbuatan. Namun demikian moral tidak sama dengan etika. Kata moral lebih mengacu pada baik-buruknya manusia sebagai manusia, menuntun manusia bagaimana seharusnya ia hidup atau apa yang boleh dan apa yang tidak boleh dilakukan. Sedangkan etika adalah ilmu, yakni pemikiran rasional, kritis dan sistematis tentang ajaran-ajaran moral. Etika menuntun seseorang untuk memahami mengapa atau atas dasar apa ia harus mengikuti ajaran moral tertentu. Dalam artian ini, etika dapat disebut filsafat moral (E.Y. Kanter 2002:2).

Yang dimaksud etika profesi adalah norma-norma, syarat-syarat dan ketentuan-ketentuan yang harus dipenuhi oleh sekelompok orang yang disebut kalangan profesional. Lalu siapakah yang disebut profesional itu? Orang yang menyandang suatu profesi tertentu disebut seorang profesional. Selanjutnya Oemar Seno Adji mengatakan bahwa peraturan-peraturan mengenai profesi pada umumnya mengatur hak-hak yang fundamental dan mempunyai peraturan-peraturan mengenai tingkah laku atau perbuatan dalam melaksanakan profesinya yang dalam banyak hal disalurkan melalui kode etik (Oemar Seno Adji 1991:8).

Sedangkan yang dimaksud dengan profesi adalah suatu moral community (masyarakat moral) yang memiliki cita-cita dan nilai bersama. Mereka membentuk suatu profesi yang disatukan karena latar belakang pendidikan yang sama dan bersama-sama memiliki keahlian yang tertutup bagi orang lain. Dengan demikian, profesi menjadikan suatu kelompok mempunyai kekuasaan tersendiri dan karena itu mempunyai tanggung jawab khusus.

Salah satu profesi yang keberadaannya berhubungan erat dengan kehidupan kita semua adalah menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan aspirasi keadilan sosial, hak asasi manusia dan demokrasi. Istilah advokat sudah dikenal ratusan tahun yang lalu dan identik dengan advocato, attorney, rechtsanwalt, barrister, procureurs, advocaat, abogado dan lain sebagainya di Eropa yang kemudian diambil alih oleh negara-negara jajahannya. Kata advokat berasal dari bahasa Latin, advocare, yang berarti to defend, to call to one’s aid, to vouch or to warrant.
Secara umum istilah advokat dapat kita lihat sebagai berikut:

1. Black’s Law Dictionary, Fifth Edition: “To speak in favor of or defend by argument; one who assists, defends, or pleads for another; one who renders legal advice and aid and pleads the cause of another before a court or a tribunal, a counselor.”

2. Deklarasi dari The World Conference on the Independence of Justice c.q. Universal Declaration on the Independence of Justice yang diadakan di Montreal, Kanada pada tanggal 5 – 10 Juni 1983, merumuskan sebagai berikut: “Lawyer means a person qualified and authorized to practice before the courts and to advise and represent his clients in legal matters.”

3. International Bar Association (IBA) sebagai organisasi internasional terbesar di dunia antara lawyers, masyarakat hukum (law societies) dan asosiasi lawyers nasional, yang didirikan di New York State tahun 1947, dalam point 1 IBA Standards for the Independence of the Legal Profession menyatakan bahwa : “Every person having the necessary qualifications in law shall be entitled to become a lawyer and to continue in practice without discrimination”.

Sedangkan yang dimaksud dengan pekerja bantuan hukum (public defender) adalah perorangan, baik sarjana hukum maupun pengacara-pengacara hukum serta badan-badan yang mendapat ijin (Abdurrahman 1983: 165). Pekerja bantuan hukum erat kaitannya dengan profesi advokat karena fungsi bantuan hukum merupakan salah satu aspek persepsi profesi advokat. Persepsi advokat dan bantuan hukum (struktural) pada hakekatnya sama. Realisasi perjuangannya juga bergerak bersama-sama, saling berkaitan, simultan, bersatu padu dan menyeluruh. Konsep ideologis profesi advokat berpijak pada tuntutan dan tujuan perjuangan negara hukum, suatu tugas profesi menegakkan hukum dan keadilan yang nyata dan merata berdasarkan aspirasi keadilan sosial, hak-hak asasi manusia dan demokrasi yang sesuai dengan perkembangan masyarakat dan negara. Sedangkan konsep bantuan hukum (struktural) berpangkal tolak dari lapisan bawah, dari struktur dan sistem sosial, budaya, ekonomi dan politik rakyat (Harjono Tjirosoebono 1989.

Fungsi dan Peranan Advokat

Secara garis besar dapat disebutkan di bawah ini mengenai fungsi dan peranan advokat antara lain sebagai berikut:

1. Sebagai pengawal konstitusi dan hak asasi manusia;

2. Memperjuangkan hak asasi manusia;

3. Melaksanakan Kode Etik Advokat;

4. Memegang teguh sumpah advokat dalam rangka menegakkan hukum, keadilan dan kebenaran;

5. Menjunjung tinggi serta mengutamakan idealisme (nilai keadilan, kebenaran dan moralitas);

6. Melindungi dan memelihara kemandirian, kebebasan, derajat dan martabat advokat;

7. Menjaga dan meningkatkan mutu pelayanan advokat terhadap masyarakat dengan cara belajar terus-menerus (continuous legal education) untuk memperluas wawasan dan ilmu hukum;

8. Menangani perkara-perkara sesuai dengan kode etik advokat, baik secara nasional, yakni Kode Etik Advokat Indonesia, maupun secara internasional, yakni mengacu kepada IBA Standards for the Independence of the Legal Profession, Declaration of the World Conference on the Independence of Justice, IBA General Principles of Ethics for Lawyers, Basic Principles on the Role of Lawyers ;

9. Mencegah penyalahgunaan keahlian dan pengetahuan yang merugikan masyarakat dengan cara mengawasi pelaksanaan etika profesi advokat melalui Dewan Kehormatan Asosiasi Advokat;

10. Memelihara kepribadian advokat karena profesi advokat merupakan profesi yang terhormat (officium nobile). Setiap advokat harus selalu menjaga dan menjunjung tinggi citra profesinya agar tidak merugikan kebebasan, kemandirian, derajat dan martabat seorang advokat;

11. Menjaga hubungan baik dengan klien maupun dengan teman sejawat;
12. Memelihara persatuan dan kesatuan advokat agar sesuai dengan maksud dan tujuan organisasi advokat;

12. Memberikan pelayanan hukum (legal services), nasehat hukum (legal advice), konsultasi hukum (legal consultation), pendapat hukum (legal opinion), informasi hukum (legal information) dan menyusun kontrak-kontrak (legal drafting);

13. Membela kepentingan klien (litigasi) dan mewakili klien di muka pengadilan (legal representation);

14. Memberikan bantuan hukum dengan cuma-cuma kepada masyarakat yang lemah dan tidak mampu (melaksanakan pro bono publico). Pembelaan bagi orang tidak mampu, baik di dalam maupun di luar pengadilan merupakan bagian dari fungsi dan peranan advokat di dalam memperjuangkan hak asasi manusia.

Peranan Pemberi Bantuan Hukum (Public Defender)

Siapakah yang dapat memberikan bantuan hukum? Pada prinsipnya setiap orang dapat memberikan bantuan hukum bilamana ia mempunyai keahlian dalam bidang hukum, akan tetapi untuk tertibnya pelaksanaan bantuan hukum diberikan beberapa batasan dan persyaratan dalam berbagai peraturan.

Persoalan selanjutnya adalah siapa yang seharusnya bertindak untuk menjadi pelaksana pemberi bantuan hukum di negara kita sekarang ini, mengingat banyak dan beraneka ragamnya para pemberi bantuan hukum yang dapat diklasifikasikan sebagai berikut: (Abdurrahman 1983: 295-300).

1. Advokat yang merupakan anggota suatu organisasi advokat dan juga menjadi anggota Lembaga Bantuan Hukum (LBH);

2. Advokat yang merupakan anggota suatu organisasi advokat dan bukan menjadi anggota LBH;

3. Advokat yang bertindak sebagai penasehat hukum dari suatu perusahaan;

4. Advokat yang tidak menjadi anggota perkumpulan manapun;

5. Pengacara praktek atau pokrol;

6. Sarjana-sarjana hukum yang bekerja pada biro-biro hukum/instansi pemerintah;

7. Dosen-dosen dan mahasiswa-mahasiswa fakultas hukum;

8. Konsultan-konsultan hukum.

Orang-orang yang disebut di atas tersebut memang dapat bertindak sebagai pemberi bantuan hukum pada umumnya, tetapi apakah mereka juga yang bertindak sebagai pemberi bantuan hukum bagi golongan miskin (public defender).

Dalam hal ini, penanganan bantuan hukum kepada golongan miskin sudah seharusnya dilakukan oleh tenaga-tenaga profesional, yaitu mereka yang bukan hanya berpendidikan Sarjana Hukum saja tetapi juga menekuni pemberian bantuan hukum sebagai pekerjaan pokok mereka sehari-hari. Hal demikian adalah idealnya daripada program bantuan hukum bagi golongan miskin. Akan tetapi kenyataannya tenaga-tenaga profesional sebagaimana digambarkan tersebut di atas tidak banyak jumlahnya dan distribusinya tidak merata dari satu tempat ke tempat lain.

Dengan demikian, maka yang harus memegang posisi utama dalam hubungan ini adalah para advokat. Tidak banyak orang yang tahu bahwa bantuan hukum adalah bagian dari profesi advokat. Kewajiban membela orang miskin bagi profesi advokat tidak lepas dari prinsip persamaan di hadapan hukum (equality before the law) dan hak untuk didampingi advokat (access to legal counsel) yang merupakan hak asasi manusia bagi semua orang tanpa terkecuali, termasuk fakir miskin (justice for all). Namun demikian, mungkin tidak seluruh advokat yang akan bergerak di bidang ini, akan tetapi hanya advokat tertentu yang diarahkan secara khusus untuk menangani persoalan pemberian bantuan hukum untuk golongan miskin. Untuk keperluan ini maka perlu kaderisasi advokat-advokat muda yang militan yang sudah dipersiapkan sejak dari bangku kuliah. Dalam hal ini, maka peranan dari lembaga/biro bantuan hukum yang ada di fakultas-fakultas hukum menjadi sangat penting sekali. Dengan demikian maka kehadiran para mahasiswa hukum dalam pembelaan perkara di muka pengadilan merupakan penyiapan kader public defender di bawah bimbingan para ahli hukum yang berpengalaman. Untuk melakukan kaderisasi ini diperlukan sekali penyiapan kurikulum yang mantap untuk pengembangan bantuan hukum melalui biro/lembaga bantuan hukum yang ada di fakultas-fakultas hukum, baik negeri maupun swasta. Selain itu, dengan didirikannya LBH-LBH yang diprakarsai oleh masyarakat, organisasi profesi advokat dan negara c.q. pemerintah, diharapkan pula dapat meningkatkan jumlah pembela umum (public defender). Sudah merupakan tanggung jawab organisasi profesi advokat untuk menyediakan para pembela umum dari para anggotanya yang siap memberikan waktu untuk membela orang miskin secara gratis (pro deo/pro bono publico). Demikian pula pemerintah mempunyai tanggung jawab menyediakan pembela umum untuk menciptakan keseimbangan dimana negara mempunyai kewajiban menyediakan penuntut umum/jaksa (public prosecutor). Karena jaksa dipersiapkan untuk menuntut tersangka/terdakwa sedangkan pembela umum disiapkan untuk membela tersangka/terdakwa.

Makna, Fungsi dan Peranan Kode Etik Advokat Indonesia

Tiap profesi, termasuk advokat menggunakan sistem etika terutama untuk menyediakan struktur yang mampu menciptakan disiplin tata kerja dan menyediakan garis batas tata nilai yang bisa dijadikan acuan para profesional untuk menyelesaikan dilematik etika yang dihadapi saat menjalankan fungsi pengembanan profesinya sehari-hari. Hal senada diungkapkan oleh Bertens yang menyatakan bahwa kode etik ibarat kompas yang memberikan atau menunjukan arah bagi suatu profesi dan sekaligus menjamin mutu moral profesi di dalam masyarakat. Sedangkan Subekti menilai bahwa fungsi dan tujuan kode etik adalah untuk menjunjung martabat profesi dan menjaga atau memelihara kesejahteraan para anggotanya dengan mengadakan larangan-larangan untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang akan merugikan kesejahteraan materil para anggotanya. Senada dengan Bertens, Sidharta berpendapat bahwa kode etik profesi adalah seperangkat kaedah prilaku sebagai pedoman yang harus dpatuhi dalam mengembankan suatu profesi. Dengan demikian maka paling tidak ada 3 maksud yang terkandung dalam pembentukan kode etik, yaitu :

1. Menjaga dan meningkatkan kualitas moral;

2. Menjaga dan mengingkatkan kualitas keterampilan teknis; dan

3. Melindungi kesejahteraan materiil dari para pengemban profesi.

Sebenarnya kode etik tidak hanya berfungsi sebagai komitmen dan pedoman moral dari para pengemban profesi hukum atau pun hanya sebagai mekanisme yang dapat menjamin kelangsungan hidup profesi di dalam masyarakat. Pada intinya, kode etik berfungsi sebagai alat perjuangan untuk mejawab persoalan-persoalan hukum yang ada di dalam masyarakat. Perspektif ini pada umumnya berpengaruh pada sebagian advokat yang bergerak dalam bantuan hukum, khususnya bantuan hukum struktural. Oleh karena itu penekanan utama pandangan ini terhadap kode etik adalah bagaimana norma-norma etis didalamnya dapat memberikan pedoman kepada seorang advokat untuk memperjuangkan hak-hak sosial yang berkemampuan untuk meningkatkan potensi survival golongan masyarakat lemah di tengah masyarakat yang kian kompleks dan penuh antagonisme (Soetandyo Wignjosoebroto 1992: 147)
Pandangan ini juga mungkin yang menjadi landasan dari sebagian peserta dalam menyikapi etika profesi hukum pada Musyawarah Nasional Luar Biasa Ikadin di Surabaya pada bulan Nopember 2000 dimana sebagian peserta tersebut bersikap bahwa pembersihan terhadap kotornya profesi hukum sekarang ini harus diperjuangkan melalui komitmen pembenahan dari dalam diri advokat sendiri. Hal ini juga disebabkan karena tidak adanya sistem yang mantap berkaitan dengan pembentukan dan pengembangan etika dan profesionalisme advokat.
Penegakan Kode Etik Advokat.

Penegakan kode etik advokat adalah isu yang menjadi sorotan dari banyak advokat dan seluruh elemen penegakan hukum di Indonesia. Penegakan kode etik diartikan sebagai kemampuan komunitas advokat dan organisasinya untuk memaksakan kepatuhan atas ketentuan-ketentuan etik bagi para anggotanya, memproses dugaan terjadinya pelanggaran kode etik dan menindak anggota yang melanggar ketentuan-ketentuan yang tercantum dalam kode etik.
Beberapa pelanggaran kode etik yang sering dilakukan oleh advokat antara lain :

1. Berkaitan dengan persaingan yang tidak sehat antar sesama advokat seperti merebut klien, memasang iklan, menjelek-jelekkan advokat lain, intimidasi terhadap teman sejawat ;

2. Berkaitan dengan kualitas pelayanan terhadap klien, seperti konspirasi dengan advokat lawan tanpa melibatkan klien, menjanjikan kemenangan terhadap klien, menelantarkan klien, mendiskriminasikan klien berdasarkan bayaran, dan lain sebagainya;

3. Melakukan praktek curang seperti menggunakan data palsu, kolusi dengan pegawai pengadilan dan lain-lain.

Pelanggaran-pelanggaran tersebut di atas seringkali terjadi karena kurangnya pengetahuan dan pemahaman seorang advokat mengenai substansi kode etik profesi advokat, baik yang bersifat nasional maupun internasional. Selain itu, apabila kita telaah kode etik advokat Indonesia, tidak ada pengaturan mengenai sanksi dalam kode etik advokat Indonesia sehingga hal ini juga yang merupakan hambatan pokok bagi penegakan kode etik.

Namun, bila dilihat dari sudut pandang lain, kelemahan substansi kode etik bukan berasal dari tidak adanya sanksi, tapi lebih pada ketidakmampuan norma-norma dalam kode etik tersebut untuk menimbulkan kepatuhan pada para advokat anggotanya. Bahkan dalam kode etik sebenarnya ada bagian khusus yang memuat pengaturan mengenai sanksi-sanksi yang dapat diberikan kepada advokat yang melanggar kode etik, yaitu antara lain berupa teguran, peringatan, peringatan keras, pemberhentian sementara untuk waktu tertentu, pemberhentian selamanya dan pemecatan dari keanggotaan organisasi profesi. Masing-masing sanksi ditentukan oleh berat ringannya pelanggaran yang dilakukan oleh advokat dan sifat pengulangan pelanggarannya.

Dengan demikian yang seharusnya dianalisis adalah apakah muatan dalam kode etik advokat yang ada sekarang ini memang tidak menyediakan secara memadai kebutuhan akan nilai-nilai profesi yang mampu memantapkan fungsi dan peran advokat di dalam sistem hukum dan interaksinya dengan masyarakat.

Faktor lain yang menentukan efektivitas penegakan kode etik adalah “budaya” advokat Indonesia dalam memandang dan menyikapi kode etik yang diberlakukan terhadapnya. “Budaya” solidaritas korps disinyalir merupakan salah satu penghambat utama dari tidak berhasilnya kode etik ditegakkan secara efektif. Solidaritas ini lebih dikenal dengan “Spirit of the Corps” yang bermakna luas sebagai semangat untuk membela kelompok atau korpsnya. Selain semangat membela kelompok, ada faktor perilaku advokat yang dipandang lebih menonjol ketika ia menemukan pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh teman sejawatnya atau oleh aparat penegak hukum lainnya, yakni budaya skeptis. Kecenderungan untuk berperilaku tidak acuh tampak jelas. Hal ini disebabkan karena berkembangnya ketidakpercayaan terhadap sistem peradilan yang sudah sangat korup dan rasa segan untuk bertindak “heroik’ secara individual dalam tekanan suatu komunitas yang justru seringkali bergantung pada rusaknya sistem peradilan itu sendiri. Akibatnya, para advokat cenderung untuk berpraktek di luar pengadilan dan/atau membentuk kelompoknya sendiri.

Sumber: www.komisihukum.go.id