Google Translator

English French German Spain Italian Dutch

Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified

Senin, 10 Oktober 2011

Malang – Yogyakarta (sebuah perjalanan mengejar mimpi)



Ini bukan cerita atau dongeng yang bisa untuk dibaca sebelum tidur, tapi ini hanyalah sebuah pengalaman pribadi perjalanan menuju Yogyakarta dari Malang dalam mengejar mimpi demi merubah sebuah persepsi lingkungan sekitar tentang bagaimana saya, dan untuk merubah keadaan hidup saya yang mulai saat ini dimulai dari nol yang mungkin bisa menjadi inspirasi atau sekedar teman untuk minum kopi diwaktu senggang.
Perjalanan ke Yogyakarta yang saya lalui bersama kerabat saya diawali dengan menggunakan travel yang biasa digunakan oleh beberapa kawan untuk menuju kota Yogyakarta, dengan bertanya kesana-kemari kepada kawan untuk menyakan tentang kredibilitas dan bonafitas dari travel yang saya tumpangi, maka saya memilih travel dengan armada yang cukup baik dan dengan ongkos yang cukup murah bila dibandingkan dengan menggunakan bus malam perbadingan harganya adalah Rp.90.000., untuk bus malam dan Rp.100.000., untuk travel dan bisa sampai ke tempat tujuan.
Malang – Yogyakarta secara geografis sejauh 350 KM, dimana selama perjalanan kita akan disuguhi pemandangan yang asri dari berbagai kota dan juga beragam kebudayaan yang kita jumpai untuk berpindah provinsi dari jawa timur ke jawa tengah. Kira-kira seperti ini rutenya Malang-Batu-Pujon-Kandangan-Pare-Papar-Kertosono-Nganjuk-Caruban-Ngawi-Sragen-Karanganyar-Solo-Kartosuro-Sukoharjo-Klaten-Yogyakarta. Perjalanan normal dari Malang ke Yogyakarta dapat di tempuh dengan waktu 8-10 jam, itu sudah termasuk dengan makan sekali dan isi bahan bakar kendaraan. Tidak banyak yang diperlukan untuk bahan bakar dari Malang ke Yogyakarta, satu tanki penuh sudah cukup untuk sampai ke Yogyakarta, bahkan lebih.
Perjalanan yang dijanjikan oleh agency travel akan dimulai pada pukul 8:00, tetapi inilah kebiasaan masyarakat kita, mungkin pukul 8:00 yang dimaksud adalah berdasarkan jam nya sendiri, bukan menggunakan waktu berdasarkan Indonesia. Seperti kebiasaan saya sebelum melakukan perjalanan adalah untuk menikmati secangkir kopi panas dan beberapa batang rokok, karena pada hari itu saya bangun agak siang, jadi tidak mungkin untuk ngopi di rumah, karna saya berpikir akan terlambat, tetapi ternyata saat sampai di lokasi yang telah di janjikan untuk menjemput, travel pun belum juga datang, maka untuk memenuhi hasrat kopi saya, saya lakukan di sebuah warung kopi yang terletak di depan kampus. Cukup lama juga saya menunggu waktu itu, sekitar jam 9:16 travel yang di tunggu datang, dan saya langsung meluncur ke kota Blitar untuk mengambil paket. Perjalanan saya sangat beruntung, karena travel hanya berisi saya dan teman saya, sehingga seperti naik mobil pribadi.
Selama perjalanan banyak cerita yang saya dapatkan dari driver travel yang saya tumpangi, mulai tentang bagaimana hidup, dan bagaimana perjalanan percintaan yang benar, dan berbagai tempat menarik yang saya tidak tahu berada di kota Malang. Semua tidak seperti yang kita bayangkan dan harapkan, akan ada banyak halangan yang akan kita lewati selama menggapai semua mimpi, dan bahkan sesuatu yang mungkin kita harapkan sudah pasti akan terjadi, bisa saja berbalik dan menjadi mustahil untuk terjadi.

Saat sore menjelang, dan waktu itu sudah sampai di Caruban suasana juga sudah mulai mencair, saya beranikan diri untuk mengajak ngopi sebentar dan melepas lelah sedikit, karena dari pengalaman saya menyetir mobil, untuk perjalanan luar kota yang memakan waktu lebih dari 5 jam, kita akan menemui saat-saat mengantuk dalam menyetir. Tidak lama saya melepas penat waktu itu, karena target saya magrib sudah sampai di kota Yogyakarta. Cukup dengan secangkir kopi, dan 3 batang rokok, saya pun melanjutkan perjalanan menuju kota Yogyakarta.
Sesampainya disana lebih dari target yang diharapkan, saya sampai pada pukul 19:00 yang dikarenakan sulit juga untuk mencari alamat kerabat pada hari itu.
Ke esokan harinya, saya memulai petualangan saya di kota Yogyakarta untuk mengadu nasib dengan mengikuti sebuah test di perusahaan milik Negara yang terkemuka, pengumuman hasil test akan dilaksanakan pada hari berikutnya.
Dengan meminjam sebuah sepeda motor dari seorang kerabat disana, saya mulai mengelilingi kota Yogyakarta, hari itu di mulai dengan mengunjungi pusat perbelanjaan yang sangat terkenal di kota Yogyakarta, Maliboro. Tetapi saya tidak pergi ke pasarnya, hanya numpang ngopi di depan pasar sambil memandang para pembeli atau pejalan kaki yang melewati Malioboro.  Secangkir kopi sudah habis dengan pemandangan yang menabjubkan, perjalanan saya lanjutkan ke sebuah tempat makan atau tempat nongkrong bagi beberapa orang yang buka 24 jam, tepatnya bernama Raminten, dan lagi, saya memesan kopi tubruk disana. Kopi sudah habis, perjalanan saya lanjutkan menuju arah Kaliurang. Senja sudah menjelang, istirahat disebuah mushola di satu kampung disana sekalian memohon dan bercerita kepada-Nya. Perjalanan di anjutkan menuju jembatan Sayidan sebuah jembatan yang terkenal dan menjadi ikon di kota Yogyakarta dan juga tempat untuk berfoto oleh berbagai kalangan.  Tak hilang arah, saya coba memasuki sebuah gang kecil yang berada di dekat jembatan Sayidan, dan gang tersebut juga bertuliskan Sayidan, berharap ada sesuatu yang saya temui disana, tetapi ternyata hanya sebuah perkampungan kecil dengan masyarakatnya yang selalu tersenyum saat disapa. Bergerak dari Sayidan, saya menuju Malioboro dan mampir disebuah angkringan disana untuk mengisi perut yang sudah minta untuk diisi oleh sesuatu, 3 bungkus nasi kucing saya habiskan untuk menghilangkan rasa lapar, dan segelas kopi panas untuk menghilangkan sedikit letih. Walau sudah berkali-kali saya pergi ke Malioboro, saya sempatkan untuk berjalan di pasar Malioboro, tidak afdol rasanya ke Yogyakarta tanpa ke Malioboro. Sebuah pikiran iseng pun keluar dari jiwa petualang saya, “Pasar Kembang itu seperti apa sih, apakah sama dengan tempat lainnya?” dengan langkah pasti, saya ayunkan kaki menuju pasar kembang, dan membayar uang retribusi sebesar Rp.2.000., Tidak berbeda dengan lokalisasi lainnya, ya memang seperti itu lah keadaan lokalisasi, dan saya berani bersumpah, bahwa saya hanya sekedar lewat, tidak untuk mampir. Malam sudah kembali menanjak, saya arahkan langkah untuk menuju sebuah daerah yang bernama Gejayan dan mampir ke sebuah kedai internasional dengan lambang C-K, lama saya habiskan waktu disana, hingga dini hari pun telah lewat, barulah saat itu terpikir, dimana kita akan menginap. Mencari kesana-kemari untuk mencari penginapan yang murah pun ternyata cukup sulit pada malam itu, dengan tidak ragu saya sepakat untuk menumpang pada sebuah pom bensin di kota Yogyakarta untuk menumpang tidur, dengan miminta izin sebelumnya pada pegawai pom bensin tersebut.

Pada hari berikutnya, tidak banyak yang kita lakukan, hanya tidur di rumah kerabat untuk bersiap melihat pengumuman, dan saya gagal kali ini. Seperti yang sudah saya perkirakan sebelumnya, dan memang tanpa di pungkiri, mencari kerja di Indonesia masih harus disertai dengan unsur keberuntungan dan politik dari orang dalam yang kuat. Dengan sedikit kekesalan, saya lanjutkan untuk melalui malam dengan mengunjungi pasar Malioboro, dan melihat bagaimana keadaan malam minggu disana, dan seperti itulah keadaan pasar, ramai dengan penjual dan pembeli yang sibuk menawarkan barang dan harganya, banyak juga terlihat wisatawan asing dan local berada disana yang hanya sekedar berjalan atau mencari pernak pernik. Bosan sudah melanda, sempat terpikir untuk mengunjungi pantai Parangtritis, tapi karena hari sudah malam, dan jalannya untuk menuju kesana pun saya tidak tahu, maka saya putuskan untuk kembali mengunjungi kedai C-K dan menikmati apa yang tersedia disana. Malam sudah larut, dan saya menyewa sebuah kamar di sekitar Pasar Kembang untuk beristirahat.
Ke esokan harinya, tujuan utama di minggu ini adalah kembali ke Malang dengan membawa sebuah cerita, tetapi saya sempatkan untuk mampir ke sebuah acara yang diadakan setiap hari minggu di lembah UGM, Sunday Morning. Sunday Morning adalah sebuah rekreasi alternatif bagi warga Yogyakarta sebuah kompleks di UGM ini banyak di kunjungi oleh masyarakat yang tidak hanya untuk berolahraga pagi saya, tetapi juga ada yang berjalan-jalan, atau hanya sekedar cuci mata, dan bahkan juga hanya sekedar lewat saja untuk menuju ke suatu tujuan tertentu. Di sekitar juga banyak pedagang dadakan yang berjualan, mulai dari makanan sampai ke mainan anak.

Perjalanan pulang ke Malang saya lalui dengan armada yang berbeda, karena ketersediaan dana yang mulai menipis, saya awali dengan menumpang sebuah angkutan yang terkenal di Yogyakarta yaitu TransJogja, hanya dengan Rp.3.000., saya sudah sampai ke terminal Giwangan, setelah masuk peron, saya mulai memilih PO mana yang akan saya tumpangi untuk sampai ke Surabaya, saya memilih PO Sumber Kencono, karena memang Sumber Kencono ini terkenal cepat sampai tempat tujuan, dan memang saya akui, sangat cepat. Tarif yang dikenakan untuk Yogyakarta – Surabaya sebesar Rp.34.000., tetapi, dalam perjalanan saya sudah tidak tahan menahan buang air kecil, dan ditakutkan penyakit ginjal saya kambuh, maka saya turun di kota Jombang, dan melanjutkan dengan bus kecil yang cukup terkenal untuk jalur Jombang – Malang, Puspa Indah, tarif yang dikenakan Puspa Indah untuk menuju Malang sebesar Rp.14.000., dan jangan berharap untuk dapat duduk dengan nyaman, karena isi penumpang yang penuh, dan jalur yang dilalui pun cukup menatang, bagi sebagian orang yang sudah tahu bagaimana jalur Pujon mungkin akan mengakuinya bahwa ini merupakan jalur hitam, dan saya sendiri sudah biasa melewati jalur ini untuk menuju kota Kediri, Pare, atau Bojonegoro.

Sampai di kota Malang sekitar pukul 21:30 dan dengan badan yang cukup pegal saya membawa berbagai cerita untuk dikenang, dan ada beberapa cerita yang tidak dapat saya publikasikan disini.

Mimpi adalah jawaban hari ini untuk pertanyaan esok hari” ­– Edgar Cayce