Google Translator

English French German Spain Italian Dutch

Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified

Selasa, 13 Maret 2012

Reggae dan Kontroversi


Reggae merupakan musik yang cukup banyak diminati oleh para pencinta musik, walaupun tidak termasuk musik mainstream, namun Reggae tetap tidak akan pernah hilang ataupun musnah. Sampai kapan pun.
Musik Reggae sendiri pertama kali ditemukan di Jamaica pada akhir tahun 1960-an. Jamaica merupakan sebuah negara yang memiliki budaya yang sangat menarik untuk dicermati, dan salah satunya ialah musik. Sebenarnya tidak hanya Reggae saja yang dimiliki oleh jamaica, karena mereka juga memiliki Ska, Rocksteady, dan DUB.
Reggae sendiri memiliki beat yang cukup slow namun tetap dapat membuat pendengarnya bergoyang santai. Perkembangan musik yang satu ini memang sangat pesat. Musik Reggae pun akhirnya mengalami perkembangan menjadi Roots Reggae dan Dancehall Reggae yang terjadi pada akhir tahun 1970. Nama Roots Reggae sendiri diberikan oleh para Rastafarian, yang berarti sebuah musik spiritual yang diperuntukan bagi Jah. Siapakah itu Jah? Jah berarti tuhan bagi para Rastafarian. Burning Spear, Johnny Clarke, Horace Andy, Barrington Levy, dan Linval Thompson merupakan nama-nama produser yang sangat berjasa dalam mengembangkan Roots Reggae ini. Selain memiliki irama yang menarik, lirik dari Reggae pun tidak pernah lepas dari kisah cinta, seks, dan kritikan sosial kepada pemerintahan. Jadi dapat dikatakan bahwa musik Reggae juga merupakan sebuah musik bagi para pemberontak. Terlepas dari Jamaica, musik Reggae orisinal masih dapat kita temukan di Afrika dan Kepulauan Karibia. Di kedua tempat ini Reggae memiliki pengikut dengan jumlah yang sangat besar.
Kebudayaan dua daerah yang masih lekat dengan Jamaica ini membuat Reggae tumbuh cukup pesat. Nampaknya perjuangan Reggae tidak berhenti sampai situ saja, karena secara perlahan namun pasti Reggae mulai memasuki Amerika Serikat. Tentu saja setelah melewati proses yang cukup panjang. Mungkin Anda tahu bahwa Rhythm and Blues merupakan musik kulit hitam yang tinggal di Amerika, namun Rhythm and Blues sendiri merupakan bagian dari musik Reggae yang telah mengalami perkembangan dan beberapa proses di Amerika Serikat. Beberapa pendapat miring atau pun kritikan pedas juga sempat dialami oleh jenis musik yang satu ini, namun Reggae tetap berjalan, seakan tidak ada yang mampu untuk menahannya lagi. Puncaknya ialah ketika pada tahun 1963 musik pemberontak ini akhirnya dapat diputar di tangga radio Inggris pada acara John Peel’s Show.


Reggae dan Kontroversi
Walaupun telah mendunia pada tahun 1960an, Reggae tetap saja menuai kontrovesi yang sangat banyak, para kritikus menganggap musik ini merupakan sebuah musik yang berbahaya, baik dari lirik maupun lifestyle yang ditimbulkan oleh jenis musik ini. Memang jika diperhatikan secara lanjut, lifestyle yang ditimbulkan oleh musik ini sangat dahsyat. Penggunaan cannabis alias ganja oleh para musisi Reggae banyak diikuti oleh para pendengar dari musik ini, karena efek yang ditimbulkan oleh ganja memang sangat cocok dengan irama musik Reggae. Bahkan tidak sedikit yang beranggapan bahwa penggunaan cannabis atau ganja merupakan salah satu ritual yang wajib dilakukan oleh para Rastafarian. Lihatlah cover album Bob Marley yang berjudul “Catch a Fire”, Anda akan menemukan gambar yang sangat vulgar, yaitu gambar sang dewa Reggae sedang menghisap dan sangat menikmati ganja. Cover album tersebut memang sempat menuai kritikan yang sangat pedas, namun nampaknya kebebasan bermusik Reggae masih tidak tertandingi pada saat itu. Seorang musisi Reggae lainnya, Peter Tosh dalam setiap penampilannya selalu memegang ganja di salah satu tangannya dan menghisapnya ketika sedang berada di atas panggung. Salah satu hits dari Peter Tosh yang berjudul “Legalize It” juga sempat dikecam oleh pemerintah karena pada lagu tersebut Peter Tosh meminta kepada pemerintah untuk melegalkan ganja.
Kontrovesi Reggae tidak berhenti hingga disitu saja, salah satu bagian dari Reggae, yaitu Dancehall juga dianggap sangat bermasalah. Dancehall sendiri merupakan sebuah musik yang diperuntukan untuk mengkritik para kaum gay. Para Rastafarian yang sangat membenci komunitas yang satu ini mulai melakukan kritikan-kritikan tajamnya melalu Dancehall, bahkan tidak sedikit berbagai kejadian yang sedikit radikal terjadi akibat dari pengaruh dari Dancehall..

Jamaican Style
Musik Reggae memang sangat lekat hubungnnya dengan Jamaica. Mungkin itu semua terjadi karena Jamaica merupakan daerah asal dari musik ini. Kerena sangat erat hubungannya tersebut, maka banyak budaya Jamaica yang diadaptasi oleh para pencinta musik yang satu ini. Cocok atau tidak cocok bagi pengadaptasinya bukan merupakan sebuah masalah, yang penting ciri khas Jamaica dan Reggae telah melekat pada keseharian para pengikut Reggae.
Rambut gimbal merupakan salah satu pengaruh dari budaya Reggae dan Jamaica yang paling mudah kita temukan. Mungkin bagi sebagian orang akan merasa jijik atau pun gerah melihat orang dengan rambut gimbal tersebut. Namun bagi para Rastafarian, hal ini lah yang mereka lakukan untuk mengungkapkan bahwa dirinya adalah salah satu pencinta dari musik Reggae.
Seiring dengan perkembangan zaman, rambut gimbal pun mulai mendapatkan tempat di dunia. Banyak orang awam yang tidak begitu mengerti tentang Rastafarian ataupun musik Reggae mengadopsi gaya ini pada kesehariannya. Selain rambut gimbal, warna hijau, kuning dan merah pun cukup melambangkan warna khas dari musik Reggae.
Di Indonesia, reggae hampir selalu diidentikkan dengan rasta. Padahal, reggae dan rasta sesungguhnya adalah dua hal yang berbeda. “Reggae adalah nama genre musik, sedangkan rasta atau singkatan dari rastafari adalah sebuah pilihan jalan hidup, way of life,” ujar Ras Muhamad, pemusik reggae yang 12 tahun menekuni dunia reggae di New York dan penganut ajaran filosofi rasta. Repotnya, di balik hinggar-bingar dan kegembiraan yang dibawa reggae, ada stigma yang melekat pada para penggemar musik tersebut. Dan stigma tersebut turut melekat pada filosofi rasta itu sendiri.
“Di sini, penggemar musik reggae, atau sering salah kaprah disebut rastafarian, diidentikkan dengan penghisap ganja dan bergaya hidup semaunya, tanpa tujuan,” ungkap Ras yang bernama asli Muhamad Egar ini. Padahal, filosofi rasta sesungguhnya justru mengajarkan seseorang hidup bersih, tertib, dan memiliki prinsip serta tujuan hidup yang jelas. Penganut rasta yang sesungguhnya menolak minum alkohol, makan daging, dan bahkan mengisap rokok. “Para anggota The Wailers (band asli Bob Marley) tidak ada yang merokok. Merokok menyalahi ajaran rastafari,” papar Ras.
Ras mengungkapkan, tidak semua penggemar reggae adalah penganut rasta, dan sebaliknya, tidak semua penganut rasta harus menyenangi lagu reggae. Reggae diidentikkan dengan rasta karena Bob Marley—pembawa genre musik tersebut ke dunia adalah seorang penganut rasta. Ras menambahkan, salah satu bukti bahwa komunitas reggae di Indonesia sebagian besar belum memahami ajaran rastafari adalah tidak adanya pemahaman terhadap hal-hal mendasar dari filosofi itu. “Misalnya waktu saya tanya mereka tentang Marcus Garvey dan Haile Selassie, mereka tidak tahu. Padahal itu adalah dua tokoh utama dalam ajaran rastafari,” ungkap pemuda yang menggelung rambut panjangnya dalam sorban ini.
Pemusik Tony Q Rastafara pun mengakui, meski ia menggunakan embel-embel nama Rastafara, tetapi dia bukan seorang penganut rasta. Tony mencoba memahami ajaran rastafari yang menurut dia bisa diperas menjadi satu hakikat filosofi, yakni cinta damai. “Yang saya ikuti cuma cinta damai itu,” tutur Tony yang tidak mau menyentuh ganja itu.
Namun, meski tidak memahami dan menjalankan seluruh filosofi rastafari, para penggemar dan pelaku reggae di Indonesia mengaku mendapatkan sesuatu di balik musik yang mereka cintai itu. Biasanya, dimulai dari menyenangi musik reggae (dan lirik lagu-lagunya), para penggemar itu kemudian mulai tertarik mempelajari filosofi dan ajaran yang ada di baliknya.
Seperti diakui Hendry Moses Billy, gitaris grup Papa Rasta asal Yogya, yang mengaku musik reggae semakin menguatkan kebenciannya terhadap ketidakadilan dan penyalahgunaan wewenang. Setiap ditilang polisi, ia lebih memilih berdebat daripada “berdamai”. “Masalahnya bukan pada uang, tetapi praktik seperti itu tidak adil,” tandas Moses yang mengaku sering dibuntuti orang tak dikenal saat beli rokok tengah malam karena dikira mau beli ganja.
Sementara Steven mengaku dirinya menjadi lebih bijak dalam memandang hidup sejak menggeluti musik reggae. Musik reggae, terutama yang dipopulerkan Bob Marley, menurut Steven, mengajarkan perdamaian, keadilan, dan antikekerasan. “Jadi kami memberontak terhadap ketidakadilan, tetapi tidak antikemapanan. Kalau reggae tumbuh, maka di Indonesia tidak akan ada perang. Indonesia akan tersenyum dengan reggae,” ujar Steven mantap.
Sila dan Joni dari Bali menegaskan, seorang rasta sejati tidak harus identik dengan penampilan ala Bob Marley. “Rasta sejati itu ada di dalam hati,” tandas Sila sambil mengepalkan tangan kanan untuk menepuk dadanya.
Perkembangan musik Reggae Indonesia bisa dikatakan dalam kondisi di atas angin. Hampir tiga hingga empat even dapat terselenggara dalam setiap minggunya dan puluhan ribu pemuda pemudi di Indonesia ikut berpartisipasi dalam setiap evennya. Bisa dikatakan musik Reggae merupakan musik yang paling digandrungi oleh pemuda pemudi Indonesia di era ini dibandingkan genre musik lainnya.
Namun situasi serta kondisi seperti ini juga akan memaksa para penyelenggara musik, sponsor, komunitas serta musisi Reggae Indonesia untuk dapat menciptakan suasana yang aman dan nyaman dalam mewujudkan karya-karya terbaiknya dan bukan hanya sekedar atau berhenti pada titik memetik dan menikmati hasilnya saja. Akan tetapi tetap bertahan pada garis perjuangan Reggae itu sendiri dan  jangan sampai pihak-pihak tertentu memanfaatkan situasi ini ataupun melemahkan perjuangan Reggae tersebut.
Berbagai perjuangan tersebut-pun akan menemui fase di mana akan terjadi  feedback dari masyarakat secara umum terhadap perkembangan Reggae Indonesia tersebut. Para generasi muda Reggae Indonesia sudah seharusnya kritis dalam memilih dan memilah dalam mengamil keputusan, apa yang seharusnya mereka lakukan bila menemui situasi ataupun kondisi yang kritis seperti yang sedan terjadi pada bangsa ini saat ini.
Nafas Reggae yang sarat akan lirik-lirik yang berisi tentang perjuangan dan pembebasan kaum yang lemah dari penindasan para penguasa-pun sudah seharusnya menjadi darah daging rakyat Reggae Indonesia juga para musisi yang kini dianggap rakyat Reggae Indonesia telah populer.
Para musisi Reggae Indonesia yang menanam hingga tumbuh dan berkembang sejak era 1960an hingga 1980an dan tetap eksis hingga saat ini, tidak dapat dipungkiri bahwa merekalah yang telah membuka gerbang awal Reggae Indonesia di belantika musik Indonesia. Dengan tetap menjaga kualitas dari karya-karya mereka, menandakan bahwa kualitas musisi Reggae Indonesia sebagai pribadi dan karya mereka memang merupakan hal yang utama untuk diperhitungkan dalam perkembagan Reggae di ndonesia. Dan ini yang membuat Reggae Indonesia digandrungi oleh para pecintanya.
Begitu kayanya musik yang telah terlahir di Tanah Ibu Pertiwi ini, yang bisa menjadi sumber mata air dalam mengeksplorasi Reggae dapat membawa seni dan budaya dari wilaah Barat ke Tengah lalu ke Timur dari Indonesia menjadi bagian dari semakin eratnya pertalian pesaudaraan pemuda pemudi Indonesia.
Seperti berbagai musik yang dapat kita dengarkan, jutaan bahkan puluhan juta jenis musik dengan berbagai bahasa yang tumbuh dan berkembang di Tanah Air kita. Sebut saja musik Campur Sari, Keroncong, Gamelan bahkan musik dari Papua dan berbagai music daerah lainnya yang telah mewarnai Negeri kita sejak jaman dahulu dapat berkolaborasi dengan harmonis dengan musik Reggae. Dan semua ini merupakan proses dari penetapan jati diri dari Reggae Indonesia dan menjadi pembuka gebang perubahan terhadap perbaikan di negeri Indonesia tercinta ini!

Negara Dunia Ketiga

Istilah-istilah subyektif Dunia Pertama, Dunia Kedua, dan Dunia Ketiga, dapat dipergunakan untuk membagi negara-negara di muka bumi ke dalam tiga kategori yang luas. Dunia Ketiga adalah istilah yang pertama kali diciptakan pada 1952 oleh seorang demografer Perancis Alfred Sauvy untuk membedakan negara-negara yang tidak bersekutu dengan Blok Barat ataupun Blok Soviet pada masa Perang Dingin. Namun sekarang ini istilah ini sering dipergunakan untuk merujuk negara-negara yang mempunyai Indeks Pengembangan Manusia PBB (IPM), terlepas dari status politik mereka (artinya bahwa Republik Rakyat Cina, Rusia dan Brasil, yang semuanya saling bersekutu dengan erat selama Perang Dingin, seringkali disebut Dunia Ketiga). Namun, tidak ada definisi yang obyektif tentang Dunia Ketiga atau "negara Dunia Ketiga" dan penggunaan istilahnya tetap lazim.
Sebagian orang di lingkungan akademis menganggap istilah ini sudah kuno, kolonialis, diskriminatif dan tidak akurat. Namun ternyata istilah ini tetap dipergunakan. Pada umumnya, negara-negara Dunia Ketiga bukanlah negara-negara industri atau yang maju dari segi teknologi seperti negara-negara OECD, dan karena itu di lingkungan akademis digunakanlah istilah yang lebih tepat secara politis, yaitu "negara berkembang".
Istilah-istilah seperti Selatan yang Global, negara-negara yang kurang makmur, negara berkembang, negara yang paling kurang maju dan Dunia Mayoritas telah semakin populer di kalangan-kalangan yang menganggap istilah "Dunia Ketiga" mengandung konotasi yang menghina atau ketinggalan zaman. Para aktivis pembangunan juga menyebutnya Dua Pertiga Dunia (karena dua pertiga dunia tertinggal di dalam pembangunan) dan Selatan. Istilah Dunia Ketiga juga tidak disukai karena istilah ini menyiratkan pengertian yang keliru bahwa negara-negara tersebut bukanlah bagian dari sistem ekonomi global. Sebagian orang mengklaim bahwa ketertinggalan Afrika, Asia dan Amerika Latin pada masa Perang Dingin dipengaruhi, atau bahkan disebabkan oleh manuver-manuver ekonomi, politik, dan militer pada masa Perang Dingin yang dilakukan oleh negara-negara yang paling kuat saat itu.
Istilah Dunia Keempat (yang merujuk kepada negara-negara yang paling kurang maju) digunakan oleh sejumlah penulis untuk menggambarkan negara-negara Dunia Ketiga yang termiskin, yakni mereka yang tidak memiliki infrastruktur industri dan sarana untuk membangunnya. Namun yang lebih lazim lagi istilah ini digunakan untuk menggambarkan paar penduduk pribumi atau kelompok-kelompok minoritas tertindas lainnya di lingkungan negara-negara Dunia Pertama.


Perspektif “Negara Dunia Ketiga”

Histori
Hampir semua negara di Asia dan Afrika pernah dijajah oleh kekuatan kolonial Eropa Barat, bukan hanya Inggris dan Perancis, tetapi juga Belgia, Belanda, Jerman, Portugal dan Spanyol. Selanjutnya, struktur perekonomian, pendidikan dan lembaga-lembaga soaial yang ada di negara-negara jajahan tersebut biasanya dibentuk oleh bekas negara penjajahnya. Tentu saja pertimbangan utamanya adalah kepentingan si penjajah sendiri bukannya negara berkembang yang terjajah. Sebagai akibatnya, struktur warisan kolonial biasanya tidak sesuai dengan kebutuhan atau kepentingan khas dari negara berkembang itu sendiri. Banyak contoh kasus yang menunjukkan jika penjajahan yang dilakukan sekian puluh yang lalu oleh negara-negara barat masih saja meninggalkan bekas-bekas yang menyulitkan banyak negara berkembang dalam upaya mereka untuk memusatkan perhatian pada pembangunan.

Kultural
Kebudayaan sebagai bentuk manifestasi dari kemampuan manusia dalam berpikir dan bertindak memunculkan konstruksi peradaban manusia itu sendiri. Peradaban dan kebudayaan itu sendiri kemudian seperti pabrik besar pencetak generasi selanjutnya yang kurang lebih memiliki karakteristik seperti generasi sebelumnya. Tidak terlepas dari perspektif pertama, maka kemudian kebudayaan dan peradaban inti negara dunia ketiga yang pernah tercerabut akibat adanya penjajahan menimbulkan disorientasi arah dan kebingungan. Pertama, hal ini dikibatkan pola pikir materiil yang hinggap di masyarakat dunia ketiga akibat proses penjajahan. Perlu ditekankan bahwa seluruh proses penjajahan yang terjadi pada negara dunia ketiga semuanya memang berkaitan dengan kepentingan penjajah dalam hal materiil (bahan mentah dan budak). Sehingga maksud keberadaan masyarakat dunia ketiga saat itu diset untuk memenuhi kebutuhan negara penjajah. Kemudian kemampuan berpikir dan bertindak masyarakat pun diarahkan menuju maksud tersebut. Bahkan pengekangan terhadap perkembangan pemikiran pun timbul sebagai bentuk pengekalan proses penjajahan. Proses penjajahan itu akhirnya menghilangkan jati diri negara dunia ketiga. Sehingga sampai saat ini negara dunia ketiga masih disibukkan oleh permasalah kultural yang membatasi mereka untuk berkembang.

Politik
Dalam menguraikan pembangunan sebagai proses sistematis tidak dapat dilepaskan dari kebijakan-kebijakan pemerintah negara dunia ketiga. Hendaknya politik ini tidak diartikan sesempit kalimat diatas, namun politik ini hendaknya diartikan secara luas sebagai manifestasi-manifestasi keinginan masyarakat negara dunia ketiga yang diwujudkan dalam bentuk-bentuk struktural beserta perangkat perilakunya guna mencapai pembangunan yang diharapkan. Pada saat ini di negara dunia ketiga manifestasi-manifestasi keinginan tersebut tidak selaras dengan bentuk-bentuk struktural dan perangkat perilakunya. Hal ini tidak dapat dilepaskan dari pengaruh dua perspektif diatas. Sehingga ketiga perspektif ini saling mempengaruhi satu sama lain.
Sekarang hal yang paling mempengaruhi dalam konteks pembangunan adalah masalah seberapa kuat keinginan negara dunia ketiga untuk maju dan berkembang. Tanpa mengesampingkan faktor luar yang dapat mempengaruhi perkembangan negara dunia ketiga, mereka harus menyadari bagaimana dunia ini bekerja dan mengoptimalkan kapabilitasnya dalam mengambil kesempatan untuk maju dan berkembang. Sehingga masyarakat dunia ketiga tidak larut dalam kondisi menyalahkan histori ataupun negara-negara maju.
Untuk mengetahui bagaimana dunia ini bekerja, maka kita dapat menganalisis dengan menggunakan pendekatan teori pembangunan berdasarkan bidang ekonomi. Ada beberapa teori pembangunan yang dikembangkan, namun secara garis dapat kita bagi menjadi 3 yaitu teori siklus, teori ketergantungan, dan teori pasar. Teori siklus menjelaskan bahwa perkembangan suatu negara memang merupakan urutan tahap-tahap perkembangan. Jadi jika suatu negara ingin maju dan berkembang maka ada tahap-tahap tertentu yang harus mereka lewati, dan sebagai dasar penyusunan tahap-tahap ini adalah proses yang telah dilalui oleh negara-negara maju. Kemudian teori ketergantungan menjelaskan bahwa perkembangan suatu negara dunia ketiga sangat tergantung kepada pola negara-negara maju baik yang telah dilakukan ataupun yang akan dilakukan. Teori ini muncul sebagai bentuk ketidakpuasan atas dominasi dan perkembangan negara-negara maju yang bertolak belakang dengan penurunan kualitas hidup negara-negara dunia ketiga. Teori ketiga menjelaskan bahwa mekanisme pasar dapat ikut serta mempercepat proses pembangunan, hal ini dikarenakan adanya percepatan pertumbuhan aktivitas ekonomi yang disertai dengan peningkatan pendapatan, perbaikan produktivitas dan pemerataan pembangunan. Teori ketiga ini merupakan teori yang saat ini banyak dikembangkan oleh negara-negara maju. Pemahaman yang benar atas ketiganya sangat penting sebagai dasar pijakan konsep pemikiran kita dalam menstrukturkan bagaimana dunia ini bekerja. Beberapa konsep dasar yang penting adalah: manusia itu tidak pernah lepas dari kepentingan-kepentingan pribadi atau golongan, kemudian manusia itu pada dasarnya berbeda, selanjutnya manusia itu tidak pernah puas (bisa kita lihat satu-satunya konsep yang bertentangan dengan hal-hal tersebut adalah agama). Oleh karena itu ketiga teori tersebut bisa kita katakan benar dalam satu hal, namun salah dalam hal lain. Sebagai contoh teori pasar, dalam hal ini banyak negara dunia ketiga yang telah membuka gerbang pasar, investasi dan liberalisasi namun kondisi keterpurukan tetap sulit untuk diubah karena ternyata mekanisme pasar yang ada tidak terlalu menguntungkan negara tersebut malahan menguntungkan negara maju. Kemudian teori kedua sulit dijelaskan secara ilmiah karena memang lebih berdasarkan kepada ideologi dan pemikiran kontraposisi negara dunia ketiga. Sedangkan untuk teori pertama, lupa untuk memperhatikan perbedaan karakteristik tiap-tiap negara karena perkembangan bersifat unik. Namun jika ketiga dirangkum dalam satu kesimpulan maka kita akan melihat sebuah pendekatan holistik atas mekanisme dunia saat ini.

Disequlibrium theory
Pendekatan holistik ini akan kita sebut sebagai teori disequilibrium. Salah satu dasar dari teori ini adalah keadaan dunia memang seimbang dengan ketidakseimbangannya. Artinya konsep dualisme adalah sebuah kenyataan yang tidak dapat ditolak. Sehingga konsep superioritas dan inferioritas akan selalu melekat dalam sejarah peradaban manusia. Teori-teori yang ada memang sanggup untuk menjelaskan kemajuan beberapa negara dan keterpurukan negara-negara di sisi lain, namun ketiganya tidak sanggup untuk menginisialisasi sebuah konsep perubahan ke arah yang lebih baik bagi semua pihak. Teori disequilibrium ini mencoba untuk menjelaskan bahwa kondisi seperti saat ini tidak berubah sampai kapanpun. Perubahan ada, namun hanya seperti sekedar pergiliran peran dimana alur dan inti ceritanya masih sama. Kondisi diequilibrium ini muncul akibat pola pikir materiil, hal ini dapat dijelaskan dengan menggunakan pendekatan bahwa materi itu tetap sehingga jika ada yang berlebih maka akan ada yang berkekurangan. Oleh karena itu berdasarkan teori disequilibrium, kondisi equilibrium hanya bisa didekati (tidak bisa diwujudkan) dengan pendekatan pola pikir non-materiil. Sebagai contoh, investasi asing di negara-negara dunia ketiga memang tidak didasari oleh keinginan investor untuk meningkatkan taraf hidup pendudukk negara dunia ketiga. Tetapi lebih kepada perhitungan keuntungan yang akan didapatkan dari penanaman modal. Hal ini semakin jelas karena kesenjangan antara kedua golongan tersebut setiap hari semakin tajam. Dengan meningkatnya keuntungan, maka ada beberapa hal lain yang pada dasarnya akan berkurang. Salah satu contohnya adalah upah ataupun jaminan kesehatan bagi karyawan. Jadi jelas bahwa saat ini diperlukan perubahan pandangan terhadap arti dari kemajuan. Dualistik dalam kehidupan seharusnya benar-benar membuat kita sadar bahwa kehidupan yang lebih baik itu tidak dapat lagi kita sandarkan kepada pooa pikir materiil. Konsep disequilibrium pada akhirnya diharapkan bisa meyakinkan bahwa perubahan bisa terjadi apabila semua pihak mulai memikirkan kepentingan bersama. Sebagai contoh, kondisi keterpurukan di sebuah negara dunia ketiga haruslah dianggap sebagai permasalahan bersama. Kenapa? Karena erat kaitannya dengan kemajuan yang dialami oleh negara maju. Penjelasan logis atas teori ketergantungan bukan lagi menjadi teori yang konspiratif karena dengan sangat jelas dengan sengaja atau tidak kemajuan yang dialami suatu negara akan disertai juga dengan kemunduran negara lain. Oleh karena itu teori disequilibrium menganjurkan kepada semua negara maju untuk sesegera mungkin mengubah pola kebijakan luar negeri mereka menjadi pola yang berpihak kepada perkembangan bersama. Dan teori disequilibrium menganjurkan kepada negara dunia ketiga untuk menyadari penuh bahwa landasan pembangunan berdasarkan pola pikir materiil tidak akan membawa negara mereka kepada kondisi ideal yang dicita-citakan.
Jadi sebenarnya teori disequilibrium ini hanyalah kesimpulan pokok dari semua teori yang ada. Hampir semua teori yang ada itu memiliki nilai kebenaran dalam perspektif tertentu. Namun ada hal lain yang memang sifatnya sedikit absurd yang hilang dalam proses kematangan peradaban manusia. Teori disequilibrium ini hanya ingin mencoba menjelaskan bahwa ketidakseimbangan yang terjadi ini memang berdasarkan pada karakteristik kehidupan. Wajar jika kondisi dunia seperti saat ini karena negara-negara maju dengan pola pikirnya masing-masing tetap ingin mempertahankan kondisi disequilibrium agar tetap menguntungkan mereka. Opini ini mungkin hanya sekedar asumsi belaka, namun semua kekakacauan di dunia tidak akan pernah hilang saat kita semua tidak mau mengerti dan menerima karakteristik kehidupan. Jadi suatu saat nanti, titik disequilibrium akan bergeser dan mulai menguntungkan negara dunia ketiga, namun tetap kekacauan tidak akan pernah berhenti. Kecuali negara dunia ketiga dapat mempelajari bagaimana dunia ini bekerja dan menjadi bijak karenanya.
Indonesia, sebagai salah satu negara dunia ketiga yang saat ini mengalami keterpurukan di segala segi tidak terlepas dari kondisi internasional yang terkadang dapat mebuat Indonesia semakin jatuh terperosok. Pola kebijakan internasional yang ada saat ini memang tidak didasarkan pada pengetahuan tentang kondisi disequilibrium ini. Sehingga semua negara berlomba-lomba menggapai gelar negara maju dengan cara apapun. Mungkin dalam titik disequilibrium, Indonesia masih terletak didalam zona kritikal. Grafik disequilibrium ini memang seperti grafi keseimbangan, yaitu jika salah satu naik maka ada titik lain yang akan turun. Saat ini ada dua pilihan bagi Indonesia jika ingin maju dan berkembang, berdasarkan tori disequilibrium. Pertama, Indonesia dapat mempelajari bagaimana perpindahan titik ini bisa terjadi tanpa menghiraukan dampaknya sehingga kemajuan dan perkembangan dapat dirasakan masyarakat Indonesia. Dengan pilihan ini Indonesia akan benar-benar menjadi negara maju lainnya, dalam arti seperti negara maju saat ini yang tidak menghiraukan arti kemajuan dia sebagai sebab kemunduran di negara lain. Kedua, Indonesia mengusahakan perpindahan titik disequilibrium namun menyadari penuh akibat yang akan ditimbulkan, sehingga dalam pola kebijakan politik luar negerinya Indonesia menempatkan diri sebagai negara maju yang berpihak pada kepentingan seluruh umat manusia. Sehingga Indonesia diharapkan dapat menjadi penggagas reorientasi dari semua kelembagaan internasional yang ada saat ini untuk memperbaiki cara pandang dan pola pikir baru terhadap arti dari kemajuan peradaban umat manusia.

Mungkin, sudah sewajarnya mulai dari detik ini kita selalau waspada terhadap pembangunan di negara kita. Jangan sampai pembangunan di negara kita ini hanyalah skenario dari negara maju untuk menguras seluruh potensi ekonomi kita. Jangan sampai juga sisi-sisi kemanusiaan di kesampingkan dalam pembagunan, sehingga manusia di negara kita hanya dijadikan alat yang hanya bisa bekerja layaknya mesin, bekerja terus menurus tanpa dan berada dalam posisi lemah/tidak memiliki daya tawar (bargaining power).

di sadur dari berbagai sumber:
http://id.wikipedia.org/wiki/Dunia_Ketiga
http://otakkurusak.wordpress.com/2008/07/30/pembangunan-indonesia-bangkitnya-negara-dunia-ketiga/
http://www.jelajahbudaya.com/opini/modernisasi-di-negara-dunia-ke-3.html
gambar:
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj28phxw8pFN9IP8X_jDAS9IhdVE1UaU6Y8S2X0df4jz6-bmn1TGNXeCRqNNzsgmY3W0kguOMZ53AtEMwqGoiAHKc3ym05uEdDy4FzbHCmrhF6Ts038akEDkXjeZKuAdWSSFVnpDJR2gNIV/s1600/Peta+Negara+Dunia+Pertama+Kedua+Ketiga.jpg

Minggu, 11 Maret 2012

Sebuah Pergaulan

Hari ini, di sebuah stasiun televisi menayangkan sebuah film yang menceritakan tentang bagaimana kehidupan seorang kupu-kupu malam dan si "mami" yang kejam, yang menarik dari film ini adalah ada sebuah kalimat yang terlontar "hari gini masih mencari yang 'orsinil'.."
Ironis memang jika melihat bagaimana pergaulan di kota-kota di Indonesia. Apa yang di tangkap dari budaya barat di artikan salah disini, dan lebih parahnya lagi semua tanpa tanggung jawab. Satu hal yang saya tahu, budaya barat menggunakan prinsip 'berani berbuat berani bertanggung jawab'. Tetapi budaya itu tidak di terapkan di sini, hanya berani berbuat tanpa berani bertanggung jawab.
Percaya atau tidak, setiap kota di Indonesia memiliki cara bergaul yang berbeda. Di beberapa kota di Indonesia, bergaul dengan obat-obatan adalah hal yang biasa dan sangat mudah di dapatkan, berbeda lagi di beberapa kota di Indonesia lainnya, cara nakal disana tidak dengan menggunakan obat-obatan, tetapi lebih kepada sex bebas. Bukan tanpa alasan, di kota yang lebih cenderung kepada obat-obatan mengatakan "lebih baik 'ngobat', karna yang rusak diri sendiri, bukan orang lain tidak seperti sex yang mengajak untuk merusak orang lain. Nanti jika sudah menikah juga akan datang saatnya" Berbeda di kota yang susah untuk mendapatkan obat-obatan, disana mengatakan "bahaya pake obat-obatan, bisa merusak tubuh, otak, jadi pecandu, mati. Lebih enak free sex bisa mengungkapkan sayang kepada pasangan." Sialnya, berbagai alasan yang ada itu tanpa tanggung jawab. Tetapi, bukan berarti setiap kota di Indonesia selalu saja rusak, masih banyak juga individu-individu yang tetap pada jalan-Nya dan konsisten dengan aturan.
Banyak memang cara bergaul, ada yang putih dan ada juga yang hitam, bahkan ada juga yang abu-abu. Tergantung dari bagaimana individu membawa diri, bagaimana individu tersebut  menentukan jalannya. Hanya saja tolong di ingat di mana kita berpijak dan berteduh, disini, Indonesia masih sangat kental dengan budaya timur dan hukum islam. Masih sangat menghormati apa itu sebuah keperawanan, masih sangat menghormati tetang sesuatu yang memabukan.
Saya sendiri tidak munafik, saya tidak mengatakan saya berada di jalan yang putih. Saya juga punya masa lalu yang cukup hitam pergaulan di ibu kota sempat membawa saya menikmati berbagai hal yang memabukan. Untuk saat ini semua itu sudah saya tinggalkan, karena memang sudah saatnya walau tidak seluruhnya.
Bagaimana dengan kamu?

Saya

Pagi ini, saya terpikirkan oleh berbagai hal yang saya alami selama ini. Tidak banyak, sedikit saja, tetapi yang benar benar telah membuat saya merasa sangat terbuang, membuat saya merasa sangat terkucilkan dari lingkungan, atau juga membuat saya sangat dibodohi oleh kenyataan palsu yang dibuat seakan-akan terjadi.
Sebut saja seseorang yang selama sekian tahun belakangan menemani saya, membuat cerita bersama, membuat kenangan bersama, membuat berbagai skema hidup ini menjadi terlihat lebih menarik. Di balik itu semua, ada satu atau mungkin lebih cerita yang ia buat palsu untuk menutupi sebuah kehidupannya. Sebuah cerita yang sangat tidak ber logika, tetapi seolah-olah cerita itu benar adanya, dengan latar belakang dan alur cerita yang seperti nyata. Sampai sekarang pun, saya harus berpura-pura percaya tentang semua itu. Maaf, di dalam hati yang paling dalam saya tidak percaya dengan ceritanya. Cerita yang penuh dengan kepalsuan demi mendapatkan sebuah citra yang baik. Sebuah cerita yang saat di tanyakan kebenarannya tetapi malah menjadi sebuah kepalsuan yang sangat palsu, dan terdengar bodoh untuk di dengar. Saya tidak percaya, seandainya saja dia bercerita seperti adanya, mungkin tidak akan seperti itu akhirnya akhir dari sebuah cerita kita. Mungkin akan lebih romantis dari cerita Romeo dan Juliet.

Lain lagi dengan seseorang yang berbicara seperti layaknya seorang calon pemimpin negeri, dengan bualannya yang manis dan membuat semua orang terkagum padanya sehingga terlena dan percaya dan memilihnya sebagai pemimpin. Tidak ada kah hal yang pantas di ceritakan selain menjatuhkan? Seperti sebuah rantai makanan yang saling memakan untuk bertahan hidup, selalu mengadu domba sana-sini untuk mendapatkan sebuah kharisma yang menarik, atau wibawa yang tak ada tandingannya seperti bung Karno. Bergunjing sana-sini untuk mendapatkan sebuah popularitas, atau hanya untuk mempererat tali persaudaraan demi memutus tali persaudaraan lain. Pernahkan sedikit saja terlintas dalam benak nya akibat dari ucapannya? Dengan membuka sebuah aib orang lain dia nyanyikan lagu tentang kemunafikan.  Pantaskah seperti itu?
Selama ini saya tidak menutup mata, tidak juga tidak menutup telinga menyaksikan ini semua. Tetapi saya diam, saya diam menyaksikan sebuah pembunuhan karakter seseorang yang saya sebut saya. Saya diam melihat pembunuhan karakter saya. Karna saya hanya bisa diam, saya tidak ikut bermain, karna saya tau itu bukan permainan biasa, permainan yang saling menjatuhkan dan merugikan.
Tidak ada yang sempurna di dunia ini kecuali Tuhan, semua manusia pernah berbuat salah, pernah berbuat tidak sepantasnya. Tapi apa perlu hal seperti itu di perbincangkan? Menjadi sebuah topik pembicaraan yang hangat sembari di temani kopi dan kretek? Saya dengar, saya mendengar. Tetapi saya diam, seolah-olah saya tahu bahwa saya sedang tidak di perbincangkan. Yang pada akhirnya sebuah karakter dari saya terbunuh, menjadikan karakter saya sebagai seorang pengganggu.
Tetapi saya tetaplah saya, yang masih menjalani hidup dengan cara saya, dengan aturan hidup saya, hingga  akhirnya saya terdidik untuk memahami  mana yang pantas di tertawakan dan mana yang harus di tentang sampai mati.

Salam,

Saya


“Mereka yang pernah kalah, belum tentu menyerah”.
(Iwan Fals - Orang-Orang Kalah - album Kantata Takwa 1990)

Senin, 10 Oktober 2011

Malang – Yogyakarta (sebuah perjalanan mengejar mimpi)



Ini bukan cerita atau dongeng yang bisa untuk dibaca sebelum tidur, tapi ini hanyalah sebuah pengalaman pribadi perjalanan menuju Yogyakarta dari Malang dalam mengejar mimpi demi merubah sebuah persepsi lingkungan sekitar tentang bagaimana saya, dan untuk merubah keadaan hidup saya yang mulai saat ini dimulai dari nol yang mungkin bisa menjadi inspirasi atau sekedar teman untuk minum kopi diwaktu senggang.
Perjalanan ke Yogyakarta yang saya lalui bersama kerabat saya diawali dengan menggunakan travel yang biasa digunakan oleh beberapa kawan untuk menuju kota Yogyakarta, dengan bertanya kesana-kemari kepada kawan untuk menyakan tentang kredibilitas dan bonafitas dari travel yang saya tumpangi, maka saya memilih travel dengan armada yang cukup baik dan dengan ongkos yang cukup murah bila dibandingkan dengan menggunakan bus malam perbadingan harganya adalah Rp.90.000., untuk bus malam dan Rp.100.000., untuk travel dan bisa sampai ke tempat tujuan.
Malang – Yogyakarta secara geografis sejauh 350 KM, dimana selama perjalanan kita akan disuguhi pemandangan yang asri dari berbagai kota dan juga beragam kebudayaan yang kita jumpai untuk berpindah provinsi dari jawa timur ke jawa tengah. Kira-kira seperti ini rutenya Malang-Batu-Pujon-Kandangan-Pare-Papar-Kertosono-Nganjuk-Caruban-Ngawi-Sragen-Karanganyar-Solo-Kartosuro-Sukoharjo-Klaten-Yogyakarta. Perjalanan normal dari Malang ke Yogyakarta dapat di tempuh dengan waktu 8-10 jam, itu sudah termasuk dengan makan sekali dan isi bahan bakar kendaraan. Tidak banyak yang diperlukan untuk bahan bakar dari Malang ke Yogyakarta, satu tanki penuh sudah cukup untuk sampai ke Yogyakarta, bahkan lebih.
Perjalanan yang dijanjikan oleh agency travel akan dimulai pada pukul 8:00, tetapi inilah kebiasaan masyarakat kita, mungkin pukul 8:00 yang dimaksud adalah berdasarkan jam nya sendiri, bukan menggunakan waktu berdasarkan Indonesia. Seperti kebiasaan saya sebelum melakukan perjalanan adalah untuk menikmati secangkir kopi panas dan beberapa batang rokok, karena pada hari itu saya bangun agak siang, jadi tidak mungkin untuk ngopi di rumah, karna saya berpikir akan terlambat, tetapi ternyata saat sampai di lokasi yang telah di janjikan untuk menjemput, travel pun belum juga datang, maka untuk memenuhi hasrat kopi saya, saya lakukan di sebuah warung kopi yang terletak di depan kampus. Cukup lama juga saya menunggu waktu itu, sekitar jam 9:16 travel yang di tunggu datang, dan saya langsung meluncur ke kota Blitar untuk mengambil paket. Perjalanan saya sangat beruntung, karena travel hanya berisi saya dan teman saya, sehingga seperti naik mobil pribadi.
Selama perjalanan banyak cerita yang saya dapatkan dari driver travel yang saya tumpangi, mulai tentang bagaimana hidup, dan bagaimana perjalanan percintaan yang benar, dan berbagai tempat menarik yang saya tidak tahu berada di kota Malang. Semua tidak seperti yang kita bayangkan dan harapkan, akan ada banyak halangan yang akan kita lewati selama menggapai semua mimpi, dan bahkan sesuatu yang mungkin kita harapkan sudah pasti akan terjadi, bisa saja berbalik dan menjadi mustahil untuk terjadi.

Saat sore menjelang, dan waktu itu sudah sampai di Caruban suasana juga sudah mulai mencair, saya beranikan diri untuk mengajak ngopi sebentar dan melepas lelah sedikit, karena dari pengalaman saya menyetir mobil, untuk perjalanan luar kota yang memakan waktu lebih dari 5 jam, kita akan menemui saat-saat mengantuk dalam menyetir. Tidak lama saya melepas penat waktu itu, karena target saya magrib sudah sampai di kota Yogyakarta. Cukup dengan secangkir kopi, dan 3 batang rokok, saya pun melanjutkan perjalanan menuju kota Yogyakarta.
Sesampainya disana lebih dari target yang diharapkan, saya sampai pada pukul 19:00 yang dikarenakan sulit juga untuk mencari alamat kerabat pada hari itu.
Ke esokan harinya, saya memulai petualangan saya di kota Yogyakarta untuk mengadu nasib dengan mengikuti sebuah test di perusahaan milik Negara yang terkemuka, pengumuman hasil test akan dilaksanakan pada hari berikutnya.
Dengan meminjam sebuah sepeda motor dari seorang kerabat disana, saya mulai mengelilingi kota Yogyakarta, hari itu di mulai dengan mengunjungi pusat perbelanjaan yang sangat terkenal di kota Yogyakarta, Maliboro. Tetapi saya tidak pergi ke pasarnya, hanya numpang ngopi di depan pasar sambil memandang para pembeli atau pejalan kaki yang melewati Malioboro.  Secangkir kopi sudah habis dengan pemandangan yang menabjubkan, perjalanan saya lanjutkan ke sebuah tempat makan atau tempat nongkrong bagi beberapa orang yang buka 24 jam, tepatnya bernama Raminten, dan lagi, saya memesan kopi tubruk disana. Kopi sudah habis, perjalanan saya lanjutkan menuju arah Kaliurang. Senja sudah menjelang, istirahat disebuah mushola di satu kampung disana sekalian memohon dan bercerita kepada-Nya. Perjalanan di anjutkan menuju jembatan Sayidan sebuah jembatan yang terkenal dan menjadi ikon di kota Yogyakarta dan juga tempat untuk berfoto oleh berbagai kalangan.  Tak hilang arah, saya coba memasuki sebuah gang kecil yang berada di dekat jembatan Sayidan, dan gang tersebut juga bertuliskan Sayidan, berharap ada sesuatu yang saya temui disana, tetapi ternyata hanya sebuah perkampungan kecil dengan masyarakatnya yang selalu tersenyum saat disapa. Bergerak dari Sayidan, saya menuju Malioboro dan mampir disebuah angkringan disana untuk mengisi perut yang sudah minta untuk diisi oleh sesuatu, 3 bungkus nasi kucing saya habiskan untuk menghilangkan rasa lapar, dan segelas kopi panas untuk menghilangkan sedikit letih. Walau sudah berkali-kali saya pergi ke Malioboro, saya sempatkan untuk berjalan di pasar Malioboro, tidak afdol rasanya ke Yogyakarta tanpa ke Malioboro. Sebuah pikiran iseng pun keluar dari jiwa petualang saya, “Pasar Kembang itu seperti apa sih, apakah sama dengan tempat lainnya?” dengan langkah pasti, saya ayunkan kaki menuju pasar kembang, dan membayar uang retribusi sebesar Rp.2.000., Tidak berbeda dengan lokalisasi lainnya, ya memang seperti itu lah keadaan lokalisasi, dan saya berani bersumpah, bahwa saya hanya sekedar lewat, tidak untuk mampir. Malam sudah kembali menanjak, saya arahkan langkah untuk menuju sebuah daerah yang bernama Gejayan dan mampir ke sebuah kedai internasional dengan lambang C-K, lama saya habiskan waktu disana, hingga dini hari pun telah lewat, barulah saat itu terpikir, dimana kita akan menginap. Mencari kesana-kemari untuk mencari penginapan yang murah pun ternyata cukup sulit pada malam itu, dengan tidak ragu saya sepakat untuk menumpang pada sebuah pom bensin di kota Yogyakarta untuk menumpang tidur, dengan miminta izin sebelumnya pada pegawai pom bensin tersebut.

Pada hari berikutnya, tidak banyak yang kita lakukan, hanya tidur di rumah kerabat untuk bersiap melihat pengumuman, dan saya gagal kali ini. Seperti yang sudah saya perkirakan sebelumnya, dan memang tanpa di pungkiri, mencari kerja di Indonesia masih harus disertai dengan unsur keberuntungan dan politik dari orang dalam yang kuat. Dengan sedikit kekesalan, saya lanjutkan untuk melalui malam dengan mengunjungi pasar Malioboro, dan melihat bagaimana keadaan malam minggu disana, dan seperti itulah keadaan pasar, ramai dengan penjual dan pembeli yang sibuk menawarkan barang dan harganya, banyak juga terlihat wisatawan asing dan local berada disana yang hanya sekedar berjalan atau mencari pernak pernik. Bosan sudah melanda, sempat terpikir untuk mengunjungi pantai Parangtritis, tapi karena hari sudah malam, dan jalannya untuk menuju kesana pun saya tidak tahu, maka saya putuskan untuk kembali mengunjungi kedai C-K dan menikmati apa yang tersedia disana. Malam sudah larut, dan saya menyewa sebuah kamar di sekitar Pasar Kembang untuk beristirahat.
Ke esokan harinya, tujuan utama di minggu ini adalah kembali ke Malang dengan membawa sebuah cerita, tetapi saya sempatkan untuk mampir ke sebuah acara yang diadakan setiap hari minggu di lembah UGM, Sunday Morning. Sunday Morning adalah sebuah rekreasi alternatif bagi warga Yogyakarta sebuah kompleks di UGM ini banyak di kunjungi oleh masyarakat yang tidak hanya untuk berolahraga pagi saya, tetapi juga ada yang berjalan-jalan, atau hanya sekedar cuci mata, dan bahkan juga hanya sekedar lewat saja untuk menuju ke suatu tujuan tertentu. Di sekitar juga banyak pedagang dadakan yang berjualan, mulai dari makanan sampai ke mainan anak.

Perjalanan pulang ke Malang saya lalui dengan armada yang berbeda, karena ketersediaan dana yang mulai menipis, saya awali dengan menumpang sebuah angkutan yang terkenal di Yogyakarta yaitu TransJogja, hanya dengan Rp.3.000., saya sudah sampai ke terminal Giwangan, setelah masuk peron, saya mulai memilih PO mana yang akan saya tumpangi untuk sampai ke Surabaya, saya memilih PO Sumber Kencono, karena memang Sumber Kencono ini terkenal cepat sampai tempat tujuan, dan memang saya akui, sangat cepat. Tarif yang dikenakan untuk Yogyakarta – Surabaya sebesar Rp.34.000., tetapi, dalam perjalanan saya sudah tidak tahan menahan buang air kecil, dan ditakutkan penyakit ginjal saya kambuh, maka saya turun di kota Jombang, dan melanjutkan dengan bus kecil yang cukup terkenal untuk jalur Jombang – Malang, Puspa Indah, tarif yang dikenakan Puspa Indah untuk menuju Malang sebesar Rp.14.000., dan jangan berharap untuk dapat duduk dengan nyaman, karena isi penumpang yang penuh, dan jalur yang dilalui pun cukup menatang, bagi sebagian orang yang sudah tahu bagaimana jalur Pujon mungkin akan mengakuinya bahwa ini merupakan jalur hitam, dan saya sendiri sudah biasa melewati jalur ini untuk menuju kota Kediri, Pare, atau Bojonegoro.

Sampai di kota Malang sekitar pukul 21:30 dan dengan badan yang cukup pegal saya membawa berbagai cerita untuk dikenang, dan ada beberapa cerita yang tidak dapat saya publikasikan disini.

Mimpi adalah jawaban hari ini untuk pertanyaan esok hari” ­– Edgar Cayce