Google Translator

English French German Spain Italian Dutch

Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified

Selasa, 25 Januari 2011

Satu Jam Saja


Entah akan jadi apa nanti dia.
Entah akan seperti apa nantinya dia.
Walau dia sudah tak ada lagi cinta yang seperti dulu.
Walau dia tidak akan pernah tau bahwa saya tetap mencintainya bagaimana pun keadaannya dan bagaimana perasaannya terhadap saya.
Saya tetap berharap dan akan terus menunggu sampai suatu saat nanti dia mencintai saya. Walau hanya satu jam saja.

Rabu, 12 Januari 2011

Apakah?


Apakah aku harus benar meninggalkannya untuk kebahagiannya? Mungkin aku juga bisa memberikannya kebahagiaan, walau bukan sekarang. Bahkan aku mungkin bisa memberikannya materi yang ia butuhkan, tapi tidak sekarang. Ini hanya persoalan kepada waktu.

Apakah aku harus benar-benar membiarkannya pergi bersama orang yang di cintainya? Tapi dia juga mencintai ku? Jadi apa aku harus kembali meyakinkan hatinya agar hanya untuk ku? Atau aku harus membiarkannya pergi begitu saja dan meninggalkan ku disini yang masih sangat mencintainya dan sangat berharap agar dia kembali?

Apakah dia tahu bahwa aku selalu meminta kepada Tuhanku setiap hari hanya agar dia mengerti bagaimana perasaan ku kepadanya? Aku ingin dia tahu bahwa aku selalu meneteskan air mata di setiap tidur ku karena mengenang masa-masa bersamanya.

Apakah aku harus benar-benar mengatakan kepadanya bahwa aku masih berharap penuh padanya dan ingin menciptakan dunia bersamanya? Sedangkan dia sedang bersama orang lain yang bisa mewujudkan semua mimpinya, bahkan khayalannya.

Apakah semua ini karena jarak? Yang seharusnya ia mengerti kenapa dulu aku mengambil keputusan ini yang semata-mata aku lakukan hanya agar dia mengerti bahwa jalan yang aku tempuh ini agar kita berdua dapat bertahan hidup di dunia yang rumit ini. Karena apa yang aku lakukan disini adalah berjuang tidak hanya untuk diriku, tetapi juga untuk dirinya. Tetapi kenapa dia tidak mengerti?

Apakah aku salah dengen mengenalkan dia kepada keluarga ku? Kepada orang tua ku dan semua keluarga ku? Yang aku harap bahwa saat aku pergi berjuang untuk masa depan dia masih bisa bertumpu pada orang tua dalam berbagai hal, sehingga dia tahu bahwa tidak hanya aku yang ingin memilikinya disampingku, tetapi juag keluarga ku.

Jadi apa yang harus ku lakukan dengan persoalan yang menurutku sangat rumit ini? Masalah yang aku yakin setan pun tidak tahu jawabannya.

Sabtu, 08 Januari 2011

PERLINDUNGAN HUKUM PEREMPUAN WNI YANG MELANGSUNGKAN PERKAWINAN CAMPURAN


·         Kristya Kembara                                 07400052



Fakultas Hukum
Universitas Muhammadiyah Malang
2010


Latar Belakang
Manusia sebagai mahluk sosial selalu hidup bersama dengan manusia lainnya dalam suatu pergaulan hidup. Hidup bersama antar manusia, antara lain untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Baik yang bersifat jasmani maupun yang bersifat rohani.
Interaksi manusia dalam masyarakat melahirkan berbagai hubungan, baik yang bersifat individual maupun yang bersifat kolektif. Salah satu hubungan manusia yang individual adalah hubungan antara seorang pria dengan seorang wanita dalam ikatan perkawinan.
Perkawinan diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, yang mengatur segala sesuatu berkaitan dengan pelaksanaan perkawinan. Pasal 1 Undang-Undang Perkawinan memberikan pengertian tentang perkawinan yaitu : “Ikatan lahir batin antara pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Sejalan dengan berlakunya Undang-Undang Perkawinan tersebut ada satu hal yang harus mendapatkan perhatian dan menjadi satu fenomena yang masih diperdebatkan yaitu tentang perkawinan beda kewarganegaraan. Undang-Undang Perkawinan secara eksplisit tidak mengatur tentang perkawinan bedakewarganegaraan, sedangkan pada kenyataannya sering terjadisebagaimana yang terjadi pada beberapa artis di Indonesia.
Di dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 antara lain dijelaskan:
Pasal 57
Yang dimaksud dengan perkawinan campuran dalam Undang-undang ini ialah perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia.
Pasal 58
Bagi orang-orang yang berlainan kewarganegaraan yang melakukan perkawinan campuran, dapat memperoleh kewarganegaraan dari suami/isterinya dan dapat pula kehilangan kewarganegaraannya, menurut cara-cara yang telah ditentukan dalam Undang-undang kewarganegaraan Republik Indonesia yang berlaku.
Salah satu hal yang biasanya menjadi kendala bagi orang yang melaksanakan pernikahan beda kewarganegaraan, baik di dalam maupun di luar negeri, adalah mengenai perlindungan hukum apabila dalam perkawinan di Indonesia misalnya terjadi perceraian yang berimbas dalam hal pembagian harta, hak asuh anak dan sebagainya. Hal ini tentu saja menyulitkan lembaga perkawinan di Indonesia dalam proses penyelesaiannya karena mereka melangsungkan perkawinannya di luar negeri. Keadaan ini memberikan anggapan bahwa Undang-Undang Perkawinan dinilai tidak memberikan perlindungan terhadap warganya yang melangsungkan pernikahan berbeda. Sehingga tidak adanya kepastian hukum, padahal mereka adalah warga negara yang mempunyai hak untuk dilindungi oleh hukum.
Mengingat hal di atas, maka akan lebih bijaksana apabila negara Indonesia berlandaskan Falsafah Pancasila melalui pemerintahannya bisa memberikan perlindungan dan tata cara pengaturan kepada orang yang akan melangsungkan perkawinan beda negara. Kiranya langkah ke arah itu tak akan mengurangi sikap negara dalam menghormati dan melindungi warga negaranya yang melangsungkah pernihakan dengan warga Negara lain sebagaimana pada Bab III Bagian Kedua Pasal 10 Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yaitu :
1. Setiap orang berhak membentuk suatu keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah.
2. Perkawinan yang sah hanya dapat berlangsung atas kehendak bebas calon suami dan calon istri yang bersangkutan, sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.
Pengakuan serta pemberian perlindungan hukum kepada perkawinan beda kewarganegaraan sangat diperlukan untuk dapat menampung segala kenyataan yang hidup dalam masyarakat. Perlindungan hukum disini ditujukan untuk menjamin rasa kepastian hukum terhadap mereka yang telah melaksanakan perkawinan bedakewarganegaraan tersebut sehingga mereka akan merasa tenang dan tentram dalam membina rumah tangga.
Berdasarkan data Lembaga Solidaritas Perempuan, ada dua masalah yang dihadapi perempuan Indonesia dalam masalah kawin campur. Pertama, tentang hak kewarganegaraan anaknya dan kedua perlunya kemudahan untuk mensponsori suaminya jika ingin tinggal di Indonesia. Soal kewarganegaraan anak, selama ini selalu ikut kepada sang bapak. “Harusnya anak bisa diberi peluang untuk memiliki kewarganegaraan ganda sampai umur 18 tahun sebelum akhirnya dia bisa memutuskan kewarganegaraannya,” katanya. Demikian pula menurut artis Maudy Koesnaedi. Di mata pemain sinetron yang bersuamikan pria asal Belanda, Eric Meijer, ini, salah satu masalah terbesar dari perkawinan campur adalah tak adanya wewenang seorang ibu atas hak kewarganegaraan anaknya.
Berdasarkan hal yang diuraikan di atas, penulis akan meneliti perlindungan hukum tentang perkawinan beda kewarganegaraanyang dituangkan dalam judul “Perlindungan Hukum Terhadap Perempuan WNI Akibat Perkawinan Campuran Menurut Pasal 26 Undang-undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan”.

Rumusan Masalah
1.   Bagimanakah perlindungan hukum perempuan WNI Indonesia yang melangsungkan perkawinan campuran?
2.      Bagaimanakah kedudukan hukum perkawinan campuran menurut Pasal 26 Undang-undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan?
3.     Masalah apakah yang timbul berkaitan dengan perempuan WNI yang melangsungkan perkawianan campuran?
Pembahasan
Undang-Undang Dasar 1945 sebagai landasan konstitusional menegaskan bahwa Negara Indonesia berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa dan negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu. Oleh karena itu, menurut pasal 28 E ayat (1) Amandemen Kedua Undang-Undang Dasar 1945 menegaskan bahwa :
“Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tempat tinggal di wilayah Negara dan meninggalkan serta berhak kembali”.
Lebih lanjut ayat (2) menyatakan bahwa :
“Setiap orang berhak atas kebebasan menyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap sesuai dengan hati nuraninya”.
Landasan konstitusional ini menjadi dasar lahirnya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan yang merupakan salah satu pemenuhan tuntunan masyarakat Indonesia selama ini agar di dalam bidang kekeluargaan terdapat ketentuan hukum yang maju sesuai dengan suasana kemerdekaan bangsa berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Diundangkannya Undang-Undang Perkawinan tersebut kemudian menjadi dasar kebijakan pemerintah dalam pembangunan hukum sebagaimana yang dirumuskan dalam GBHN tahun 1999-2004.
Lahirnya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 merupakan suatu kebijakan legislatif untuk melakukan unifikasi hukum, karena seperti dikatakan Sardjono, bahwa Indonesia sudah lama bersatu dan keinginan memiliki suatu Undang-Undang Perkawinan Nasional yang mampu menampung aspirasi masyarakat tentang perkawinan yang dengan terbentuknya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, hasrat itu telah dipenuhi. Lebih lanjut Sardjono mengatakan bahwa :
“Terbentuknya Undang-Undang Perkawinan ini merupakan suatu sluitstuk yang berhasil dari suatu rentetan usaha-usaha kearah penyusunan perundang-undangan tentang perkawinan yang telah dilakukan bertahun-tahun oleh pembentuk undang-undang mulai pada sekitar tahun 1950-an”.
Hal itu membuktikan betapa besarnya minat yang dicurahkan secara nasional terhadap masalah perkawinan. Diundangkannya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yang mulai berlaku pada tanggal 2 Januari 1974, adalah sebagai usaha pemerintah untuk melakukan pembenahan di bidang hukum perkawinan dan dengan demikian, menurut pasal Pasal 57 dan Pasal 58:
Yang dimaksud dengan perkawinan campuran dalam Undang-undang ini ialah perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia. (Pasal 57)
Bagi orang-orang yang berlainan kewarganegaraan yang melakukan perkawinan campuran, dapat memperoleh kewarganegaraan dari suami/isterinya dan dapat pula kehilangan kewarganegaraannya, menurut cara-cara yang telah ditentukan dalam Undang-undang kewarganegaraan Republik Indonesia yang berlaku. (Pasal 58)
Dengan demikian maka Pasal 57 dan 58 tersebut menjelaskan tentang perkawinan campuran antara dua orang yang menikah di Indonesia agar tunduk kepada hukum yang berlainan, maksudnya hukum Indonesia dan hukum Negara yang bersangkutan yang melakukan perkawinan campuran tersebut.
Jika dikaitkan dengan Hak Asasi Manusia, dalam Bab III Bagian Kedua Pasal 10 Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yaitu :
1.    Setiap orang berhak membentuk suatu keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah.
2.    Perkawinan yang sah hanya dapat berlangsung atas kehendak bebas calon suami dan calon istri yang bersangkutan, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Dalam Pasal 10 tersebut dinyatakan bahwa perkawinan adalah merupakan salah satu bagian dari hak asasi yang dimiliki oleh manusia, perkawinan tidak dapat dipaksakan, hanya dapat berlangsung atas kehendak kedua calon mempelai dan harus sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, dalam hal ini peraturan perundang-undangan hukum perkawinan di Indonesia yaitu Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Indonesia adalah negara hukum (rechtstaat). Pengertian negara hukum (rechtstaat) merupakan kebalikan dari pengertian negara kekuasaan (machstaat). Dasar yang mendukung keberadaan negara hukum adalah kebebasan rakyat, bukan kebebasan negara. Tujuan negara hukum adalah memelihara ketertiban umum dan menyelenggarakan kesejahteraan rakyat.
Pemikiran negara hukum dapat ditelusuri dengan mengacu pada teori Trias Politika dari Montesquieu. Berdasarkan teori tersebut, ada yang berpendapat bahwa negara hukum adalah negara yang mengurangi hak-hak dasar warga negaranya berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan. Di lain pihak, ada yang berpendapat bahwa negara hukum adalah negara yang menjamin kebebasan pengadilan, yaitu kebebasan untuk melakukan kontrol sosial terhadap segala tindakan dari alat-alat kekuasaan negara.
Negara hukum adalah negara yang membatasi kekuasaan negara terhadap warganya dengan berlandaskan hukum. Tindakan negara terhadap warganya dibatasi oleh hukum (rule of law),sebagaimana dikemukakan Paul Scholten bahwa elemen utama suatu negara hukum adalah, adanya pembatasan kekuasaan yang berlandaskan hukum. Dengan demikian, pembatasan terhadap hak-hak individu hanya dapat dilakukan apabila diperkenankan oleh peraturan perundang-undangan dan setiap tindakan negara harus selalu berdasarkan hukum.
Ciri negara hukum, antara lain dikemukakan dalam “Simposium tentang Indonesia adalah Negara Hukum” yang diselenggarakan Fakultas Hukum Universitas Indonesia pada tanggal 8 Mei 1966, yaitu :
1.    Pengakuan dan perlindungan hak-hak asasi manusia yang mengandung persamaan dalam bidang politik, hukum, ekonomi, dan kebudayaan.
2.     Peradilan yang bebas dari pengaruh sesuatu kekuasaan atau kekuatan lain dan tidak memihak.
3.     Legalitas dalam arti hukum dalam segala bentuknya.
Hukum mempunyai peranan penting dalam kehidupan masyarakat. Berkaitan dengan keberadaan hukum tersebut, Bagir Manan menyatakan bahwa tujuan hukum dapat sekaligus tampak dalam fungsi hukum, yaitu :
1. Menjamin keadilan.
2. Menjamin ketertiban dan ketenteraman (kedamaian).
Memudahkan hubungan antar anggota masyarakat.
Mendorong kemajuan atau perubahan.
Di lain pihak, Mochtar Kusumaatmadja berpendapat bahwa salah satu fungsi hukum yang terpenting adalah tercapainya keteraturan dalam kehidupan manusia di dalam masyarakat. Selanjutnya dikatakan, tujuan hukum tidak dapat dipisahkan dari tujuan akhir hidup bermasyarakat yang tidak dapat dilepaskan dari nilai-nilai dan falsafah hidup yang menjadi dasar hidup masyarakat tersebut, yang pada akhirnya bermuara pada keadilan.
Undang-Undang Perkawinan diharapkan dapat mengakomodir tujuan-tujuan hukum sebagaimana dikemukakan di atas. Selain itu juga diharapkan dapat menjamin kepastian hukum dalam konteks perkawinan dan akibat-akibatnya.
Pasal 1 Undang-Undang Perkawinan mengatur pengertian perkawinan sebagai berikut :
“Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.”
Selain pengertian perkawinan, dalam Undang-Undang Perkawinan juga diatur mengenai keabsahan perkawinan, syarat-syarat perkawinan, pencegahan perkawinan, pembatalan perkawinan, dan sebagainya.
Berkaitan dengan hal tersebut, diatur pula mengenai Asas-asas hukum perkawinan, yaitu:
1.      Asas Kesukarelaan
Merupakan asas terpenting Perkawinan Islam. Kesukarelaan itu tidak hanya harus terdapat antara kedua calon suami istri, tapi juga antara orang tua kedua belah pihak.
2.      Asas Persetujuan
3.      Asas Kebebasan Memilih Pasangan
4.      Asas Kemitraan
Suami istri dengan tugas dan fungsi yang berbeda karena perbedaan kodrat (sifat asal, pembawaan). Kemitraan ini menyebabkan kedudukan suami istri dalam beberapa hal sama, dalam hal lain berbeda, suami menjadi kepala keluarga, istri menjadi kepala dan penanggung jawab pengaturan rumah tangga.
5.      Asas untuk selama-lamanya
Menunjukkan bahwa perkawinan dilaksanakan untuk melangsungkan keturunan dan membina cinta serta kasih sayang selama hidup (Q.S. Al-Rum (30):(21)).
Adapun berkaitan dengan perkawinan beda kewarganegaraan yang terjadi di Indonesia, pemerintah melindungi warganya dengan mengharuskan pria asing menyimpan uang jaminan (deposit) kepada pemerintah Indonesia. Hal ini dilakukan agar tidak terjadi kasus seperti ditelantarkkannya perempuan setempat yang dinikahi warga Thailand yang bekerja sebagai pemborong jalan. Begitu kontraknya selesai, istrinya ditinggalkan begitu saja, Kasus lainnya adalah Perempuan Indonesia yang menikah dengan pria asing kelimpungan ketika sang suami pulang ke negara asal bukan lagi cerita, status perkawinan tak jelas, kewarganegaraan anak jadi masalah. Keadaan demikian akan merepotkanbagi perempuan Indonesia. Apalagi jika selama ini ia hanya mengandalkan penghasilan sang suami. Begitu suami angkat kaki dari Indonesia, baik karena kontrak kerja habis atau cerai, beban isteri akan bertambah. Dari kasus-kasus tersebut, Mahkamah Agung mengusulkan agar warga asing yang akan menikah dengan perempuan Indonesia harus menyimpan uang jaminan kepada pemerintah.
Sesuai dengan UUD 1945 pasal 26, yang disebut warga negara adalah bangsa Indonesia asli dan bangsa lain yang di sahkan undang-undang sebagai warga negara. Dalam penjelasan UUD 1945 pasal 26 ini, dinyatakan bahwa orang-orang bangsa lain misalnya; orang peranakan Belanda, peranakan Arab, cina dll yang bertempat (menetap) di Indonesia, yang mengakui Indonesia sebagai tanah airnya dan bersikap setia kepada Negara Republik Indonesia dapat menjadi warga Negara Republik Indonesia.
Selain itu, sesuai dengan pasal 1 UU No.22/1958, dinyatakan bahwa warga negara Republik Indonesia adalah orang-orang yang berdasarkan perundang-undangan atau perjanjian-perjanjian atau peraturan-peraturan yang berlaku sejak Proklamasi 17 Agustus 1945 sudah menjadi warga negara RI.
Menurut pasal 4 UU RI No.12 Tahun 2006 tentang kewarganegaraan, terdapat ketentuan baru mengenai warga Negara RI. misalnya; sebelum UU ini berlaku, perempuan WNI yang menikah dengan laki-laki WNA, maka anak yang lahir akan mengikuti kewarganegaraan ayahnya, namun sekarang kewarganegaraannya tidak berbeda ( tetap menjadi WNI), adapun ketentuan menjadi WNI berdasarkan UU tersebut adalah sebagai berikut;
1.      Setiap orang yang berdasarkan peraturan perundang-undangan dan berdasarkan perjanjian pemerintah RI dengan negara lain sebelum UU ini berlaku sudah menjadi WNI
2.      Anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari ayah dan ibu WNI
3.      Anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari ayah WNI dan ibu WNA
4.      Anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari ayah WNA dan ibu WNI
5.      Anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ibu WNI, tetapi ayahnya tidak mempunyai kewarganegaraan atau hukum asal ayahnya tidak memberikan kewarganrgaraan kepada anak tsb
6.      Anak yang lahir diluar perkawinan yang sah dari ibu WNI dan jika ayahnya WNA maka  harus disertai pengakuan dari ayahnya.
7.      Anak yang lahir dalam tenggang waktu 300 hari setelah ayahnya meninggal dunia dari perkawinan yang sah, dan ayahnya WNI
8.      Anak yang lahir di wilayah RI yang pada waktu lahir tidak jelas status kewarganegaraan ayah dan ibunya
Dalam perundang-undangan di Indonesia, perkawinan campuran didefinisikan dalam Undang-undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, pasal 57 :
”Yang dimaksud dengan perkawinan campuran dalam Undang-undang ini ialah perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia.”
Pasal ini menegaskan bahwa yang dimaksud dengan perkawinan campuran adalah perkawinan antara orang-orang di Indonesia tunduk kepada hukum-hukum yang berlainan. Perkawinan campuran menurut pasal 57 UU No. I/1974 ini ruang lingkupnya lebih sempit dibandingkan dengan S. 1898/158, karena hanya mengenai berbeda kewarganegaraan dan salah satu pihaknya harus warga Negara Indonesia.
Perkawinan WNI yang dilangsungkan di luar negeri berlaku Pasal 56 UU No.1 Tahun 1974, yang mengatur untuk setiap perkawinan WNI di luar negeri berlaku asas lex loci celebrationis. Asas ini berarti perkawinan harus dilaksanakan berdasarkan hukum Negara dimana perkawinan dilangsungkan dan bagi WNI tidak melanggar ketentuan UU Perkawinan. Lantas muncul pertanyaan, bagaimana bila terjadi pertentangan dalam hukum Negara yang satu dengan hukum Indonesia saat perkawinan akan dilakukan? Lantas haruskah perkawinan tersebut dicatatkan sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) No. 12 Tahun 2010 yang mulai berlaku sejak 26 Januari 2010? Bagaimana status hukum suatu perkawinan campuran yang tidak di catat di kantor pencatatan sipil? Apakah kerugian dan keuntungan jika mendaftarkan/tidak mendaftarkan perkawinan campuran di Catatan Sipil di Indonesia?
Di samping tidak dilakukannya pencatatan perkawinan, juga terdapat fenomena lain dalam perkawinan campuran yang berkembang, yaitu perkawinan semu atau lazim disebut kawin kontrak di Indonesia. Lantas, bagaimana dengan isu berkaitan dengan upaya pemerintah untuk melakukan pengawasan dengan melarang perkawinan semu bahkan mengkriminalisasi pelakunya melalui ancaman pidana dan denda? Bagaimana dengan isu lainnya yaitu membayar uang jaminan kepada calon istri melalui bank syariah sebesar Rp. 500 juta bagi pelaku perkawinan campuran?
Masalah lain yang juga sering muncul dalam hal terjadinya perkawinan campuran adalah status kewarganegaraan anak dan kepemilikan properti bagi WNA. Menurut UU No 12 tahun 2006, anak yang dilahirkan dari perkawinan campuran memiliki status kewarganegaraan ganda hingga dia berumur 18 tahun atau menikah. Kewarganegaraan ganda ini memiliki potensi masalah, misalnya dalam hal penentuan status personal yang didasarkan pada asas nasionalitas, maka seorang anak berarti akan tunduk pada ketentuan negara nasionalnya. Lantas, bagaimana pengaturan status personal anak yang didasarkan pada asas nasionalitas, bila terdapat pertentangan antara hukum negara yang satu dengan negara yang lain? Bagaimana bila ketentuan yang satu melanggar asas ketertiban umum pada ketentuan negara yang lain?
Di samping masalah anak, akibat perkawinan yang menimbulkan masalah pelik lainnya adalah masalah harta kekayaan atau kepemilikan properti, baik harta yang dimiliki sebelum perkawinan maupun harta yang diperoleh selama perkawinan serta harta yang wajib dibagi apabila terjadi perceraian. Perkawinan campuran yang terjadi antara WNI dengan WNA tidak sepenuhnya menyebabkan WNA memperoleh kepemilikan properti WNI yang dinikahinya. Menurut pasal 21 ayat (3) UU No 5 Tahun 1960 : 
“Orang asing yang setelah berlakunya undang-undang ini memperoleh hak milik karena pewarisan tanpa waktu/percampuran harta karena perkawinan, demikian pula Warga Negara indonesia yang mempunyai Hak Milik dan setelah berlakunya undang-undang ini kehilangan kewarganegaraannya, wajib melepaskan hak itu dalam jangka waktu 1 tahun sejak diperolehnya hak tersebut/hilang kewarganegaraan itu. Jika sesudah jangka waktu tersebut lampau, Hak Milik itu tidak dilepaskan, maka hak tersebut hapus karena hukum dan tanahnya jatuh kepada Negara dengan ketentuan bahwa hak-hak pihak lain yang membebaninya tetap berlaku ” 
Dengan demikian, kepemilikan atas tanah dan bangunan, terbatas hanya tanah-tanah yang berstatus “Hak Pakai” dan “Hak Sewa”, terkecuali para pihak dalam perkawinan campuran tersebut membuat “perjanjian kawin” sebelum menikah. Dengan adanya “perjanjian kawin”, maka tidak terdapat percampuran harta sehingga harta yang dimiliki oleh para pihak menjadi milik masing-masing. Hal ini menimbulkan pertanyaan, hal apa saja yang dapat diatur dalam perjanjian perkawinan? Bagaimanakah proses pembuatannya? Sejauh mana kekuatan hukum perjanjian perkawinan tersebut? Apakah akibat hukum jika perjanjian perkawinan tersebut lupa diberitahukan kepada Pegawai Pencatat Sipil?
Pembatasan kepemilikan tanah oleh WNA dalam UU No 5 Tahun 1960 dan PP No 41 tahun 1996, juga menyebabkan WNA melakukan penyelundupan hukum dalam melalui beberapa bentuk seperti melalui “Nominee”, Perjanjian Pemilikan (Land Agreement) dengan Surat Kuasa, Perjanjian Opsi, Perjanjian Sewa menyewa (Lease Agreement), disertai Kuasa Menjual (Power of Attorney to Sell), hibah wasiat dan surat pernyataan ahli waris.


HIMBAUAN
Nomor : 340/VII/2009/06

Mencermati semakin meningkatnya kasus dan permasalahan Warga Negara Indonesia (WNI) di luar negeri yang sedang mengenyam pendidikan dan banyaknya kasus-kasus WNI di luar negeri yang muncul karena diakibatkan oleh permasalahan perkawinan campuran antara WNI dan Warga Negara Asing (WNA) yang sering menempatkan WNI pada posisi rentan, maka KBRI Ottawa menghimbau seluruh WNI yang berada di Kanada untuk meningkatkan kewaspadaan terhadap kedua permasalahan tersebut.
Dalam kaitan itu, bersama ini disampaikan beberapa langkah pencegahan dan peringatan dari Direktorat Perlindungan Warga Negara Indonesia dan Badan Hukum Indonesia sebagai berikut :
Merupakan hak asasi bagi setiap Warga Negara Indonesia untuk mengikatkan diri dalam tali perkawinan dengan warga negara asing (perkawinan campuran) sesuai dengan peraturan dan perundangan nasional serta kebiasaan internasional yang berlaku.
Namun patut untuk diingat bahwa karakter, budaya, norma, dan hukum masing-masing negara tetap tegak berdiri secara mandiri dan berbeda-beda sebagai bentuk kedaulatan negara. Perbedaan fundamental tersebut seringkali menciptakan potensi rentan bagi Warga Negara Indonesia yang terikat tali perkawinan dengan warga negara asing.
Menimbang hal-hal tersebut, Pemerintah RI cq. Departemen Luar Negeri memandang perlu untuk menyampaikan himbauan kepada seluruh Warga Negara Indonesia yang akan melakukan perkawinan campuran sebagai berikut:
1.     Agar selalu menjunjung tinggi hak kewarganegaraan Indonesia dalam hal mengikatkan diri dalam tali perkawinan dengan warga negara asing dengan melakukan pertimbangan mendalam dan memperkuat pemahaman terkait karakter, budaya, norma, dan hukum yang dianut oleh calon suami/istri warga negara asing.
2.     Agar selalu mempersiapkan diri dan melengkapi dokumen pendukung hak-hak kewarganegaraan sebagaimana dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan dan ketentuan pelaksananya, dalam melakukan perkawinan campuran dengan warga negara asing termasuk kelengkapan dokumen untuk proses penyelesaian perselisihan perkawinan yang mungkin timbul di kemudian hari.
3.     Agar segera melakukan konsultasi dan registrasi perkawinan campuran di Perwakilan RI yang terakreditasi di negara asal suami/istri warga negara asing.