Google Translator

English French German Spain Italian Dutch

Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified

Minggu, 07 November 2010

RENCANA PERUBAHAN UNDANG-UNDANG DASAR 1945 (KE-LIMA)


PENDAHULUAN
Konsitusi hidup di tiap zaman dengan mengikuti perkembangan masyarakat. Karena itu, UUD 1945 harus diamandemen bila tidak lagi relevan dengan perkembangan masyarakat.
Dalam satu bulan terakhir ini sebenarnya, ada momentum-momentum yang tidak terjangkau oleh wewenang konstitusi. Yang paling mencolok adalah kasus bencana alam.
Seperti dalam bantuan bencana alam yang ditangani secara terus menerus, karena bencana di tanah air akan terus berulang, sebab negara ini memang memiliki potensi bencana yang beragam, sehingga perlu diatur dalam UUD dan UU lainnya.
Sedangkan penanganannya, bukan tanggung jawab negara saja, tapi juga tanggung jawab rakyat semuanya dan itu perlu dipertegas dalam konstitusi negara, selain dari melanjutkan agenda reformasi.
Salah satu tuntutan Reformasi 1998 adalah dilakukannya perubahan (amandemen) terhadap UUD 1945. Latar belakang tuntutan perubahan UUD 1945 antara lain karena pada masa Orde Baru, kekuasaan tertinggi di tangan MPR (dan pada kenyataannya bukan di tangan rakyat), kekuasaan yang sangat besar pada Presiden, adanya pasal-pasal yang terlalu "luwes" (sehingga dapat menimbulkan multitafsir), serta kenyataan rumusan UUD 1945 tentang semangat penyelenggara negara yang belum cukup didukung ketentuan konstitusi.
Tujuan perubahan UUD 1945 waktu itu adalah menyempurnakan aturan dasar seperti tatanan negara, kedaulatan rakyat, HAM, pembagian kekuasaan, eksistensi negara demokrasi dan negara hukum, serta hal-hal lain yang sesuai dengan perkembangan aspirasi dan kebutuhan bangsa. Perubahan UUD 1945 dengan kesepakatan diantaranya tidak mengubah Pembukaan UUD 1945, tetap mempertahankan susunan kenegaraan (staat structuur) kesatuan atau selanjutnya lebih dikenal sebagai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), serta mempertegas sistem pemerintahan presidensiil.
Dalam kurun waktu 1999-2002, UUD 1945 mengalami 4 kali perubahan (amandemen) yang ditetapkan dalam Sidang Umum dan Sidang Tahunan MPR:
Sidang Umum MPR 1999, tanggal 14-21 Oktober 1999 → Perubahan Pertama UUD 1945
Sidang Tahunan MPR 2000, tanggal 7-18 Agustus 2000 → Perubahan Kedua UUD 1945
Sidang Tahunan MPR 2001, tanggal 1-9 November 2001 → Perubahan Ketiga UUD 1945
Sidang Tahunan MPR 2002, tanggal 1-11 Agustus 2002 → Perubahan Keempat UUD 1
Pada UUD 1945 pertama, sebelum diamandemen, bencana adalah persoalan yang dimarjinalkan, tapi dalam konsteks modern, persoalan bencana bukan lagi domain privat, tapi sudah masuk menjadi domain yang harus diatur oleh negara.
Perubahan amandemen UUD 1945 menaruh harapan yang begitu besar akan perubahan kehidupan bernegara kearah yang lebih baik, agaknya tidak begitu banyak masyarakat Indonesia yang memahami betul apa substansi dan konsekuensi atas amandemen terhadap UUD 1945.
Masalah yang ada sekarang ini, negara tidak mempunyai kekuatan memaksa orang untuk meninggalkan suatu lokasi yang rawan bencana alam ketika bencana mengancam
Selain memaksa orang untuk meninggalkan lokasi bencana,  konstitusi juga harus mencegah pejabat negara untuk meninggalkan Indonesia saat terjadi bencana. Agar kasus yang terjadi saat ini, sejumlah anggota DPR berpelesiran ke luar negeri saat terjadi bencana tidak terulang. 
Dari seluruh penduduk Indonesia, berapa persenkah yang memahami dengan baik amanden UUD 1945. Disisi lain, berapa persen pula dari penduduk Indonesia yang merasa berkepentingan dengan amandemen UUD 1945? Berapa persenkah dari penduduk Indonesia yang merasa memerlukan dan atau mendapat suatu pemenuhan atas harapan hidup mereka sebagai warga dan rakyat Indonesia?
Banyak masyarakat berpendapat bahwa amandemen UUD 1945 bisa hanya menjadi kepentingan para elit politik dan bukan merupakan kebutuhan rakyat secara keseluruhan. Masalah ini tentu akan menjadi kontradiktif dengan para pengajur perubahan, namun ketika dihadapan pada sejauh mana perubahan yang membuahkan kebahagian bagi rakyat atas perubahan UUD 1945 di luar nikmat yang dirasakan para elit dan mungkin termasuk para intelektual.
Prof. Muladi (Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional) Dalam acara konvensi ikatan alumni lembaga mengatakan bahwa ada tiga masalah mendasar untuk mengamandemen UUD 1945. Pertama, setiap amandemen UUD 1945 akan menimbulkan gejolak, krisis baik ekonomi maupun instabilitas politik, pengelolaan Negara yang membutuhkan energi. Kedua, substansi amandemen UUD 1945 itu sendiri harus jelas. Ketiga, Amandemen untuk rakyat harus teruji dan valid, dan tidak hanya dengan atas nama rakyat.
Beberapa masalah yang dikemukakan di atas tentu saja dengan memahami, bahwa amandemen tidak semata-mata hanya pemenuhan syarat terhadap pasal 37 yang mencantumkan persyaratan dan mekanisme pengubahan UUD oleh/ di MPR. "Tetapi harus memenuhi syarat filosofis, sosiologis, yuridis, dan Politis, dan yang paling penting apakah rakyat membutuhkannya. 

 
PEMBAHASAN
Amandemen UUD 1945 yang sudah berlansung sebanyak empat kali sejak era reformasi bergulir, dan kini berkembang lagi gagasan untuk mengandemen UUD 1945 yang kelima. Melakukan amandemen terhadap UUD 1945 dalam waktu yang relative singkat dari satu amandemen ke amandemen yang lainnya sebenarnya pekerjaan yang penuh resiko dan resiko itu cenderung hanya dapat dielimnir di atas kertas dan konseptual. Dibalik yang tampak bisa diatasi ada resiko jangka panjang yang harus dibayar mahal. Ujungnya mungkin penyelesalan.
Sebelum perubahan, UUD 1945 terdiri dari pembukaan, 16 bab, 37 pasal, 49 ayat, dua pasal peralihan, dua aturan tambahan dan penjelasan. Setelah diamandemen, UUD 1945 terdiri atas pembukaan, 21 bab, 73 pasal, 170 ayat, tiga pasal aturan peralihan, dua pasal aturan tambahan dan penjelasan.
Namun, empat kali amandemen UUD 1945 pada Sidang Tahunan MPR 1999, 2000, 2001, dan 2002, ternyata belum cukup mengakomodasi kebutuhan bangsa dan negara. Karena itu, muncul pandangan lain tentang perlunya kembali ke UUD 1945.
Perbedaan pandangan tentang amandemen UUD 1945 perlu disikapi dengan seksama. Sebagian menolak amandemen beralasan karena ingin menyelamatkan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Masyarakat yang menginginkan kembali ke UUD 45 menganggap amandemen UUD 1945 tidak mampu menjawab berbagai permasalahan di Tanah Air. Malah, amandemen justru menghasilkan ketidakpastian di berbagai bidang.
Banyak pasal-pasal dalam UUD 1945 yang telah diamandemen justru saling bertentangan, tidak konsisten satu sama lain, serta tidak sesuai dengan pokok-pokok pikiran yang tertuang dalam Pembukaan UUD 1945. Hal itu mengakibatkan bangsa kehilangan pegangan serta arah. Mengembalikan UUD 1945 ke naskah aslinya, diharapkan persoalan semacam itu bisa terselesaikan.
Amandemen UUD 1945 yang pertama dan kedua banyak mengandung kelemahan, baik dari substansi maupun pembuatnya sehingga banyak menimbulkan masalah. Amandemen pertama dan kedua UUD 1945 lebih mengedepankan peran dari badan-badan eksekutif, legislatif dan yudikatif, sementara hak-hak fundamental rakyat. Sebagai pemegang kedaulatan terabaikan.
Jangankan kemampuan rakyat memecat wakilnya, pengaturan agar wakil rakyat menjalankan aspirasi rakyat pun tidak tercantum tegas dalam amandemen UUD 1945. Kelemahan itu juga memiliki signifikansi dengan gugatan DPD yang menilai kedudukan dan peranannya sangat lemah.
Tiga hal yang belum disentuh amandemen UUD 1945 adalah bagaimana cara rakyat menarik kedaulatannya, penegasan mengenai supremasi otoritas sipil atas militer, serta penegasan dan penjaminan otonomi khusus dalam konstitusi.
Aspek restriktif itu merupakan koreksi langsung terhadap, misalnya, tiadanya pembatasan masa jabatan presiden di masa Presiden Soeharto. Demikian pula peningkatan otonomi daerah yang membatasi kekuasaan pusat. Selain sifatnya restriktif, amandemen UUD 1945 juga memiliki aspek integratif yang tercermin dari pembentukan DPD, yang diharapkan dapat membantu penyampaian aspirasi daerah.
Amandemen UUD 1945 memiliki pula aspek protektif dengan dicantumkannya 10 pasal (28A sampai 28J) tentang HAM, proteksi bahasa daerah, dan masyarakat adat. Meski demikian, amandemen UUD 1945 masih mendapat kritik karena dibuat Majelis Permusyawaratan Rakyat, bukan oleh komisi independen.
Amandemen UUD 1945 ini juga tak memiliki isi draf yang utuh, penjelasan mengenai pasal-pasal yang diamandemen pun minim. Selain itu, partisipasi publik rendah. Publik tidak diberi peluang menilai perubahan yang dilakukan. Sebaliknya peranan politisi justru sangat menonjol, padahal tidak dapat dipungkiri bahwa politisi sangat dipengaruhi oleh kepentingan kelompok dan jangka pendek.
Rakyat pemilih juga tidak dapat melakukan impeachment terhadap wakil rakyat yang tidak menjalankan aspirasi mereka. Sebaliknya, pola pemecatan pejabat eksekutif dapat dilakukan oleh lembaga legislatif. Padahal hal terpenting dalam kehidupan demokrasi adalah kemampuan rakyat menitipkan kedaulatan mereka, lewat pemilihan umum maupun menariknya kembali.
Berbagai kelemahan dalam konstitusi kita memang harus dibenahi dalam kerangka menjawab berbagai tantangan dalam masyarakat dan memperkuat sistem ketatanegaraan kita. Dengan demikian, UUD 1945 merupakan produk hukum yang selalu membutuhkan penyesuaian dengan dinamika yang ada.
Semangat itu juga disadari saat founding fathers menerima diberlakukannya UUD 1945 pada sidang PPKI 18 Agustus 1945, bahwa UUD 1945 hanya bersifat sementara yang bisa diubah-ubah sesuai situasi yang berlaku. Oleh sebab itu, jika kemudian UUD 1945 dikembalikan ke naskah asli, hal itu merupakan langkah mundur.
Perubahan atau amandemen diperlukan, namun harus dilakukan secara komprehensif dan bukan parsial. Amandemen harus melibatkan para tokoh dan ahli hukum dan konstitusi. Jangan sampai amandemen justru dipolitisasi oleh para politisi yang dipenuhi kepentingan jangka pendek, sehingga konstitusi justru kehilangan visi jangka panjang.
Hal itu tentu saja apabila dipahami bahwa UUD 1945 telah menjadi darah kehidupan bangsa Indonesia dan menjadi urat nadi ketatanegaraan Indonesia selama puluhan tahun. Sebagai sebuah konstitusi, UUD 1945 tentulah tidak bisa diperlakukan, apalagi disentuh sebagaimana kita memperlakukan dan menyentuh UU. Namun, bila dicermati, keinginan-keinginan untuk mengamademen UUD 1945 masih terus bergulir, ia setidaknya sebagai refleksi atas ketidak-tuntasan atau pun sebagai respon atas gagasan-gasasan yang belum tertampung dalam amandemen UUD 1945 yang sudah berlansung. Setidaknya inilah yang menjadi alasan mengapa UUD 1945 saat diperlakukan layaknya sebagai sebuah UU dan terbaikan sebagai sebuah konstitusi.
Di dalam dunia politik istilah konstitusi biasanya sekurang-kurangnya dipergunakan untuk melukiskan seluruh sistem pemerintahan suatu negara, yaitu kumpulan ketentuan-ketentuan tentang menetapkan dan yang mengatur pemerintahan. Ketentuan-ketentuan ini sebagian bersifat aturan hukum dan sebagian bersifat non legal atau ektra legal. 
Dengan demikian tidak heran apabila kemudian dinyatakan banyak ahli, bahwa sebuah konstitusi atau UUD merupakan kristalisasi dari berbagai pemikiran politik ketika negara akan didirikan atau ketika konstitusi itu disusun. Setelah itu konstitusi mempunya kedudukan sangat penting karena ia harus menjadi landasan penyelenggaraan negara dari berbagai segi sehingga setiap tingkah laku atau kebijaksanaan politik dari setiap pemimpin negara akan senantiasa terlihat relevansinya dengan ketentuan undang-undang dasar (Moh.Mahfud MD:2000;40). 
Karena konstitusi itu merupakan kristalisasi dari berbagai pemikiran politik, maka sebuah konstitusi bukan sekedar aturan belaka mengenai ketatanegaraan. Konstitusi sebagai hukum dasar (induk seluruh ketentuan hukum di sebuah negara) merefleksikan banyak hal penting bagi negara bersangkutan. Sebagian substansi konstitusi merefleksikan hal-hal yang monumental dimasa lalu, masa kini dan harapan masa datang. 
Memahami eksistensi yang demikian, maka jelas dalam sebuah konstitusi terkandung suatu ideologi dari bangsa negara. Karenanya tidak heran kalau bangsa tertentu memandang konstitusi seakan-akan sebagai “barang keramat” yang tidak dapat disentuh. Demikian pula halnya dengan UUD 1945 sebagai konstitusi negara Indonesia, ia merupakan kristalisasi ide-ide tentang negara menjelang lahirnya negara Indonesia. Ide-ide tentang negara itu tidak dapat dilepaskan dari ideologi yang hidup dan tumbuh dalam diri bangsa Indonesia.
UUD 1945 sebagai sebuah konstitusi, maka jelas amandemen terhadapnya tidak boleh didorong kebutuhan-kebutuhan temporer, sesaat dan apalagi semata-mata dilatar belajangi kepentingan politik praktis dan berkaitan dengan “kekuasaan”. 
Disisi lain, karena konstitusi adalah karya manusia maka tentunya tidak tidak lepas dari kekurangan-kekurangan. Ia juga bukan sebuah dogma yang harus berlaku abadi tanpa diutak-atik. Dimanika kehidupan sosial bergerak begitu cepat sering kali tidak bisa diprediksikan para pembuat konstitusi pada saat konstitusi disusun. Terhadap hal ini Lito Exposto mengemukakan, bahwa Konstitusi pada kurun waktu tertentu mungkin dianggap sempurna tetapi pada lain waktu dianggap tidak memadai lagi. Beberapa ahli menyebut bahwa perubahan itu penting karena dua hal:
a.      ia sesungguhnya adalah hasil sebuah kompromi dari beberapa kekuatan politik dengan kepentingan-kepentingan yang berbeda.
b.      kemampuan para penyusunnya yang terbatas. Oleh karena itu, sebuah konstitusi tidak dapat berlaku seterusnya tanpa perubahan.
Seperti dikemukakan sebelumnya, bahwa sebuah konstitusi tidak dapat berlaku seterusnya tanpa perubahan, Masalahnya mengapa diperlukan perubahan terhadap UUD 1945 dan untuk kepentingan apa ?
Dua hal penting yang mendasari perubahan UUD sebagaimana dikemukakan Lito Exposto, jika dihubungkan dengan amandemen UUD 1945 sepertinya relevan. Disisi lain secara historis UUD 1945 pada waktu ditetapkan sebagai konstitusi Negara Indonesia tanggal 18 Agustus 1945 dikatakan oleh Ir. Soekarno sebagai UUD sementara, tetapi ini acapkali dijadukan dalil untuk mematahkan kalangan yang tidak menginginkan amandemen terhadap UUD 1945. 
Tanpa mempersoalkan lebih jauh apa yang menjadi latar belakang di amandemen 1945, yang pasti amandemen terhadap UUD 1945 yang sudah berlansung sebanyak 4 kali telah membahwa perubahan yang mendasar dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Menurut Jimly Assihddiqie, perubahan-perubahan itu juga mempengaruhi struktur dan mekanisme structural organ-organ negara Republik Indonesia yang tidak dapat lagi dijelaskan menurut cara berpikir lama.
Banyak pokok-pokok pikiran baru yang diadopsikan ke dalam kerangka UUD 1945 itu. Empat diantaranya adalah (a) penegasan dianutnya citademokrasi dan nomokrasi secara sekaligus dan saling melengkapi secara komplamenter; (b) pemisahan kekuasaan dan prinsip “checks and balances’ (c) pemurnian system pemerintah presidential; dan (d) pengeuatan cita persatuan dan keragaman dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Jika naskah asli UUD 1945 berisi 71 butir ketentuan, maka setelah empat kali mengalami perubahan, kini jumlah materi muatan UUD 1945 seluruhnya mencakup 199 butir ketentuan.
Dari sejumlah amandademen yang telah dilakukan yang telah melahirkan mendasar dalam system ketenanegaraan Indonesia, memerlukan evaluasi dan optimaisasi, sebelum berfikir untuk melakukan amandemen ke lima, Kenapa ? Dari empat kali amandemen saja, beban dan pkerjaan ketatanegaraan yang harus dibenahi dan dipikul bangsa Indonesia agaknya sudah cukup berat. Sekurang-kurangnya sampai saat ini, amandemen yang sudah ada saja belum seluruh masyarakat mengetahui dan memahaminya.
Albert Hasibuan menyampaikan, secara garis besar setidaknya ada tiga aspek muncul sehingga dibutuhkan perubahan kembali.
Aspek itu adalah adanya kelemahan, kekurangan dan ketidaksempurnaan UUD 1945; kekeburan/inkonsistensi teori dari muatan UUD 1945; kekacauan struktur dari sistemasi pasal-pasal UUD 1945; dan ketidaklengkapan konstitusi dan pasal-pasalnya yang multiinterpretatif yang menimbulkan instabilitas hukum dan politik.
Kenyataan sama disampaikan oleh Krisna Harahap, yang antara lain menggambarkan adanya kerancuan system perwakilan. “Tidak jelas apakah menganut system unikameral, bikameral atau multikameral.”
Sistem presidensial yang ingin diperluas, menurutnya juga menjadi kebablasan. Amandemen yang terjadi justru membuatnya kabur, misalnya terjadi “perenggutan” hak membentuk Undang-undang (UU) dari tangan presiden.
Salah satu sebabnya karena tidak adanya kerangka acuan atau naskah akademik yang dipersiapkan dengan matang oleh suatu komisi konsititusi yang independent dan terdiri dari para ahli konstitusi, ahli bidang lain dan wakil daerah,” urainya.
Untuk amandemen berikutnya, Kisna Harahap menyarankan agar tidak prinsip yang dibutuhkan harus dipegang dalam melakukan amandemen. Ketiganya ialah longevity, rigidity, dan moral content.
Longevity agar UUD itu dapat bertahan selama mungkin untuk kepentingan bangsa, rigidity dimaksudkan agar ia cukup tegar atas berbagai perubahan yang terjadi, dan muatan moral (moral content) mengharapkan agar yang diatur tidak sekadar struktur dasar pemerintahan, tetapi juga harus memperhatikan hak asasi manusia.
Kalau kita tinjau beberapa kelemahan dan ketidaksempurnaan konstitusi UUD 1945 di antaranya adalah kekaburan dan inkonsistensi yuridis dan teoritis dalam materi UUD 1945, kekacauan struktur dan sistematisasi pasal-pasal UUD 1945, ketidaklengkapan UUD 1945 dan pasal-pasal yang multiinterpretatif, dsb.
Seharusnya konstitusi UUD 1945, sebagai hukum dasar atau basic law, bersifat lengkap dan sempurna sehingga menjadi living constitution atau konstitusi yang hidup untuk puluhan bahkan ratusan tahun ke depan.
Perlu diketahui akibat ketidaksempurnaan dan kelemahan UUD 1945 ini telah menimbulkan pengelompokan-pengelompokan dalam masyarakat. Satu kelompok menghendaki agar UUD 1945 dikembalikan lagi kepada yang asli. Sedangkan kelompok yang lain menghendaki diadakan lagi perubahan atau amandemen ke-5 UUD 1945, dan kelompok terakhir berpendapat tetap pada UUD 1945 sekarang ini.

KESIMPULAN
Sesempurna apapun amandenen dilakukan, tidak akan membawa dampak apapun, kalau aturan yang menjadi konstitusi itu tidak dilaksanakan dan hanya sekadar menjadi pajangan. Rakyat membutuhkan realisasi janji-janji Negara yang tertulis dalam konstitusi. Rakyat tidak membutuhkan janji baru yang dituangkan dalam konstitusi berupa pasal tambahan atau revisi pasal hasil amandemen.
Kita ketehui bahwa hukum/peraturan perundang-undangan yang berlaku, tidak boleh ditetapkan dan diterapkan secara sepihak oleh dan/atau hanya untuk kepentingan penguasa secara bertentangan dengan prinsip-prinsip demokrasi. Karena hukum memang tidak dimaksudkan untuk hanya menjamin kepentingan segelintir orang yang berkuasa, melainkan menjamin kepentingan akan rasa adil bagi semua orang tanpa kecuali. Artinya, negara hukum (rechtsstaat) yang dikembangkan bukanlah absolute rechtsstaat, melainkan democratische rechtsstaat atau negara hukum yang demokratis. Dengan perkataan lain, dalam setiap Negara Hukum yang bersifat nomokratis harus dijamin adanya demokrasi, sebagaimana di dalam setiap Negara Demokrasi harus dijamin penyelenggaraannya berdasar atas hukum.
Menurut Rawls sistem demokrasi pada prinsipnya pengakuan dan menjamin terbentuknya partisipasi politik semua warga, karena hak yang sama atas partisipasi politik sebagai sebuah prinsip terutama dimaksudkan untuk memberi sebuah peluang agar semua warga secara aktif ikut serta dalam proses pengambilan keputusan politik. Dengan demikian prinsip partisipasi politik yang sama menuntut pengakuan akan kekuasaan rakyat yang dituntut oleh konstitusi yang adil sebagai dasar legitimasi pengambilan keputusan politik, termasuk produk hukum di dalamnya. Artinya rakyat yang memegang peran sentral negara demokrasi yang pemerintahan berdasarkan hukum dasar yang dibuat oleh rakyat.
Sehingga hukum dapat di jadikan sarana untuk mencapai tujuan yang diidealkan bersama. Cita-cita hukum itu sendiri, baik yang dilembagakan melalui gagasan negara demokrasi (democracy) maupun yang diwujudkan melalaui gagasan negara hukum (nomocrasy) dimaksudkan untuk meningkatkan kesejahteraan umum. Bahkan sebagaimana cita-cita nasional Indonesia yang dirumuskan dalam Pembukaan UUD 1945, tujuan bangsa Indonesia bernegara adalah dalam rangka melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.