Google Translator

English French German Spain Italian Dutch

Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified

Kamis, 20 Mei 2010

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP HAK ANAK UNTUK BEBAS DARI KEKERASAN DALAM RUMAH


DAFTAR ISI

Halaman Pengesahan………………………………………………………………. 1

Kata Pengantar……………………………………………………………………... 2

Ringkasan…………………………………………………………………………... 4

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang……………………………………………………………... 6

B. Rumusan Masalah……………………………………………….…………. 9

C. Manfaat Penulisan………………………………………………………….. 9

D. Tujuan Penulisan…………………………………………………………… 10

TELAAH PUSTAKA

A. Penelitian Terdahulu……………………………………………………….. 11

B. Landasan Teori……………………………………………………………... 12

METODE PENULISAN

A. Jenis Penulisan……………………………………………………………... 13

B. Jenis dan Sumber Data……………………………………………………... 13

ANALISIS DAN SINTESIS……………………………………………………….. 14

KESIMPULAN…………………………………………………………………….. 20

DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………………… 21

HALAMAN PENGESAHAN

Judul Kegiatan : PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP HAK ANAK

UNTUK BEBAS DARI KEKERASAN DALAM RUMAH

TANGGA (KDRT)

Nama Penulis : Kristya Kembara (07400052)

Malang, 14 Mei 2010

Menyetujui,

Pembantu Rektor III, Dosen Pendamping

Cekli Setya Pratiwi, S.H., LL.M Cekli Setya Pratiwi, S.H., LL.M

KATA PENGANTAR

Puji Syukur penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT, karena atas Rahmat dan Ridhlo-Nya penelitian yang berjudul PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP HAK ANAK UNTUK BEBAS DARI KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA (KDRT) berhasil diselesaikan.

Penulisan ini didasarkan oleh realita yang terjadi dalam masyarakat yang berkaitan dengan kesadaran akan adanya peraturan hukum yang dibuat dalam masyarakat. Sesuai dengan judul bahwa penulisan ini dimulai dengan menjelaskan latar belakang mengenai tindak kekerasan dalam rumah tangga terutama pada perlindungan anak yang terkena tindak kekerasan. Selanjutnya penulisan dilanjutkan dengan rumusan masalah tentang bagaimana perlindungan hukum kepada anak yang menjadi korban kekerasan pada rumah tangga. Kemudian dilanjutkan tentang tujuan adanya penulisan, luaran yang diharapkan, kegunaan, tinjauan pustaka, metode pelaksanaan, jadwal kegiatan, rancangan biaya, dan terakhir daftar pustaka.

Dalam penulisan ini penulis lebih condong membahasnya dalam konteks Indonesia sebagai negara hukum dan hukum terebut sangat penting untuk dipahami oleh seluruh lapisan masyarakat di negara Indonesia ini.

Penulisan ini penulis lakukan karena sudah menjadi kewajiban penulis sebagai mahasiswa yang mempunyai fungsi sebagai agent of change dan agent of social control. Sedangkan sebagai mahasiswa fakultas hukum, penulis ikut bertanggung jawab atas pentingnya pengetauan hukum diseluruh lapisan masyarakat. Penulisan ini penulis sadari masih jauh dari kesempurnaan, akan tetapi ini tidak menjadi dasar untuk penulis berhenti belajar dan meneliti. Oleh karena itu, penulis dengan senang hati mengharap saran dan kritik yang membangun untuk perbaikan selanjutnya.

Penulis berharap semoga penulisan penelitian ini bisa bermanfaat dan memberi pengetahuan yang baik bagi masyarakat, akademisi, swasta dan pemerintah serta fungsi dan manfaat hukum yang diharapkan dapat dimengerti dan dipahami oleh seluruh lapisan masyarakat.

Malang, 17 Mei 2010

Penulis


RINGKASAN

Kedudukan anak dalam rumah tangga sebenarnya dalam posisi lebih lemah, lebih rendah karena secara fisik, mereka memang lebih lemah dari pada orang dewasa dan masih bergantung pada orang-orang dewasa di sekitarnya. Dalam penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hak-hak dan kewajiban anak dalam rumah tangga, bentuk-bentuk kekerasan terhadap anak dalam rumah tangga, faktor-faktor penyebab terjadinya kekerasan anak dalam rumah tangga, bentuk perlindungan hukum terhadap anak yang menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga dan aspek hukum kekerasan terhadap anak dalam rumah tangga.

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik “library Reasech” yakni dengan mengkaji literature yang ada maupun sumber-sumber pustaka lain yang relevan dan mendukung guna memecahkan masalah yang berhubungan dengan aspek hukum kekerasan anak dalam rumah tangga.

Hasil penelitian ini bahwa hak-hak yang melekat dalam diri anak cukup banyak, baik yang diatur dalam Konvesi Hak Anak maupun peraturan perundang-undangan dan kewajiban anak dalam rumah tangga menghayati tugas orang tua, hormat dalam ucapan, perbuatan, tidak mengeraskan suara dihadapan orang tua, menundukkan diri dihadapan orang tua, menjaga kehormatan orang tua, menyenangkan hati orang tua, memohon ampun dan memohon doa untuk orang tua. Bentuk-bentuk kekerasan dalam rumah tangga terhadap anak adalah sebagai berikut kekerasan anak secara fisik, psikis, seksual, penelantaran anak dan eksploitasi anak. Faktor penyebab terjadinya kekerasan terhadap anak umumnya disebabkan oleh faktor-faktor internal yang berasal dari anak itu sendiri maupun faktor eksternal yang berasal dari kondisi keluarga dan masyarakat. Perlindungan hukum terhadap anak yang menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga dilakukan dengan menerapkan program dan kegiatan pelayanan langsung untuk anak-anak yang membutuhkan perlindungan khusus. Aspek hukum terhadap anak yang menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga didasarkan pada pandangan negara Pasal 28 UUD Tahun 1945 beserta perubahannya, Pasal 28G ayat (1) UUD tahun 1945, Undang-undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan kekerasan dalam rumah tanmgga, Undang-undang No. 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak, Undang-undang No. 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak, dan KUHP Pasal 289-296 mengenai tindak kekerasan seksual atau pencabulan.

Berdasarkan hasil penelitian ini, dapat disarankan agar dilakukan penelitian lebih lanjut, mengenai peranan keluarga yang merupakan media pembelajaran yang pertama dan utama bagi anak, agar tidak ada lagi istilah mendidik anak dengan kekerasan. Sedangkan untuk menunjang aspek-aspek hukum yang sudah ada, aparat penegak hukum dituntut lebih tegas dalam menegakkan hukum terhadap keluarga yang memperlakukan anak-anaknya sebagai objek kekerasan.

SUMMARY

The position of children in the household actually in a weaker position, lower because physically, they are much weaker than in adults and are still dependent on the adults around them. In this study aims to determine the rights and obligations of children in the household, these forms of violence against children in the household, the factors that cause the occurrence of child abuse in the household, the form of legal protection to children who are victims of domestic violence and legal aspects of violence against children in the household.

The research method used in this study is the technique of "library Reasech" namely, by reviewing existing literature and other sources of relevant literature and support in order to solve the problems associated with the legal aspects of child abuse in the household.

Results of this study that the rights inherent in the child a lot, both as stipulated in the Convention Rights of the Child as well as statutory regulations and obligations of children in the household task of living up to parents, respect in words, deeds, not his voice in front of parents , prostrate ourselves in front of parents, guard of honor parents, pleasing parents, begging forgiveness and pleading prayers for parents. Forms of domestic violence against children is as follows child physical abuse, psychological, sexual, child neglect and exploitation of children. Causes of violence against children is generally caused by internal factors that come from the children themselves or external factors that come from family and community conditions. Legal protection of children who are victims of domestic violence carried out by implementing programs and activities of direct services for children who need special protection. Legal aspects of the children who are victims of domestic violence based on the views of Article 28 of the Constitution of 1945 and its amendments, Article 28G Paragraph (1) the Constitution of 1945, Law no. 23 of 2004 on Elimination of domestic violence tanmgga, Law No. 23 of 2002 concerning child protection, Law no. 4 Year 1979 on the Welfare of the Child, and Article 289-296 of the Penal Code regarding sexual violence or abuse.

Based on these results, it may be advisable to conduct further research, regarding the role of the family which is the medium of learning is first and foremost for children, so there is no longer a term to educate children with violence. Meanwhile, to support those aspects of existing law, law enforcement officials forced to be more assertive in enforcing the law against a family which treats children as objects of violence.

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Perkembangan dewasa ini masalah anak dan perlindungan anak menjadi perhatian penting. Karena itu, perlindungan anak menjadi bagian integral dari proses dan dinamika pembangunan, khususnya pengembangan sumber daya manusia. Perlindungan anak sebenarnya telah terintegrasi dalam hukum nasional yang terserak-serak didalam KUHPerdata, KUHPidana, dan sejumlah peraturan perundangan-undangan tentang perlindungan anak.

Apakah kita menyadari atau tidak, potret utuh realitas anak dimuka peta dunia ini ternyata belum seindah retorika verbal atau jargon sosial budaya dan politik yang dilabelkan kepada anak. Semua pihak menyetujui peranan rule of the child (anak adalah harapan masa depan) atau anak hon mi do hamoraon di ahu (anakku adalah yang paling berharga bagiku), kata bijak masyarakat etnis Batak.

Namun, apakah kita menyadari betapa anak juga memiliki eksistensi. Eksistensi anak sebagai anak, sebagai manusia yang merupakan totalitas kehidupan dan kemanusiaan? Bukankah pada diri setiap anak melekat (semenjak kelahirannya, bahkan semenjak menjadi janin dalam rahim ibu) hak-hak dasar yang tidak bisa diabaikan? Namun, sudahkan hak-hak anak menjadi realitas dunia? Yang pasti, masih banyak bentuk-bentuk eksploitasi, kekerasan, diskriminasi, dan pencideraan hak-hak anak. Baik yang dirasakan dan nyata maupun tersembunyi.

Pada kenyataannya, anak-anak masih terus tereksploitasi, baik secara ekonomi menjadi pekerja anak, anak jalanan, ataupun eksploitasi seksual dengan menjadikannya anak-anak yang dilacurkan (prostituted children). Kita belum mampu untuk sangat konsisten menegakan hak anak, walaupun perangkat hukumnya relatif telah tersedia. Ironis memang, jika hukum dan regulasi mengenai perlindungan anak hanya menjadi hiasan bibir yang hampir tidak bermakna lagi.

Penegakan hak-hak anak sebagai manusia dan anak sebagai anak ternyata masih memprihatinkan. Sampai saat ini problematika anak belum menarik banyak pihak untuk membelanya. Data situasi anak dapat dikonfirmasi dari laporan yang disampaikan badan-badan dunia yang menunjukan betapa anak masih saja menjadi korban orang dewasa, struktur yang menindas, kekuasaan pemilik modal, bahakn juga kultur domestik.

Di Indonesia, pekerja anak juga menjadi masalah akut. Diperkirakan 2.4 juta anak-anak usia 10-14 tahun aktif secara ekonomi. Secara kuantitatid jumlahnya meningkat karena krisis ekonomi yang melanda Indonesia, terutama anak-anak yang berkeja disektor invormal. Secara kualitatif, pekerja anak makin bermasalah besar karena anak-anak yang terbawa ke sektor luar rumah itu dekat sekali dengan ekploitasi.

Bemacam bentuk terhadap eksploitasi pekerja anak baik dalam sektor formal dan informal telah menyingkirkan anak-anak memperoleh hak-hak atas pendidikan, pelayanan kesehatan, dan menikmati masa kanak-kanak untuk bermain. Bahkan di Indonesia masih saja ditemukan anak-anak berkerja dengan resiko kerja yang sangat berbahaya dan mirip perbudakan, itu ditemukan pada kasua anak jermal yang berkerja pada perusahaan penangkapan ikan yang terisolir ditengah laut sepanjang pantai Timur Sumatera Utara.

Secara internasional, sejak tahun 1989 masyarakat dunia telah mempunyai instrumen hukum, yakni Konvensi Hak Anak (Un’s Convention on the Rights of the Child). KHA mendeskripsikan hak-hak anak secara detail, menyeluruh dan maju. Karena KHA memposisikan anak sebagai dirinya sendiri dan hak anak sebagai segmen manusia yang harus dibantu perjuangan bersama-sama orang dewasa.

Praktek perlakuan salah terhadap anak, makin maraknya kasus perkosaan anak, kekerasan terhadap anak (domestik dan disektor publik), kekerasan psiskis dan mentalitas serta beban yang berat, ekploitasi dan penekanan anak dalam media iklan, siaran televisi, dan kebijakan serta hukum yang tidak pro hak anak. Bahkan perlakuan aparatus penegak hukum, apakah para hakim, jaksa, polisi yang dalam praktek penegakan hukum anak cendeung memidana anak. Padahal menurut prinsip hukum pidana, pidana bagi anak adalah pilihan yang terakhir. Oleh karena itu, mengimplemntasikan hak anak diupayakan untuk meneguhkan tatanan, sistem dan konstruksi struktural yang pro anak/hak anak. Upaya ini sejalan dengan upaya reformasi hukum yang mengikis tesis hukum yang eksploitatif-destruktif terhadap anak.

Sosialisasi, promosi, dan penegakan hak-hak anak perlu dilakukan terus menerus dan sungguh-sungguh, mengingat masalah anak belum manjadi isu utama dalam pembangunan. Menegakan hak-hak anak membutuhkan komitmen dengan orang dewasa yang memiliki kekuatan, kapital, kekuatan mendesak, dan sumber daya pendukung lainnya. Karena kodratnya yang lemah dalam masa pertumbuhan, bagaimanapun, anak tidak bisa dibiarkan mandiri secara total. Anak bukan orang dewasa dalam ukuran mini sehingga tidak absah dibiarkan berjuang sendiri menegakan hak-hak anak yang tertulis indah dalam dokumen formal ataupun ketentuan hukum. Disinilah urgensi advokasi dan perlindungan hukum anak untuk menciptakan tatanan dunia yagn lebih baik bagi anak.

Hak-hak anak sebagai mana dimaksud dalam dokumen hukum mengenai perlindungan hak-hak anak masih belum cukup ampuh bisa menyingkirkan keadaan yang buruk bagi anak. Pada kenyataannya, tatanan dunia dan prilaku kehidupan masyarakat masih menyimpan masalah anak. Bahkan keadaan seperti itu bukan saja melanda Indonesia, namun juga hampir pada seluruh muka jagat bumi ini.

Dengan mengembangkan realitas anak-anak dewasa ini, dimaksudkan untuk memberikan gambaran betapa masalah anak belum mereda dalam perkembangan pembangunan dunia yang pesat diantaranya termasuk di Indonesia. Gambaran dimuka menunjukan bahwa perlindungan anak dan pelaksanaan hak-hak anak masih perlu dimaksimalkan sebagai gerakan global yang melibatkan seluruh potensi negara bangsa-bangsa didunia.

Karena masih maraknya ekploitasi, kekerasan terhadap anak maka penulis mengambil judul “PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP HAK ANAK UNTUK BEBAS DARI KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA (KDRT)”.

B. Rumusan Masalah

Kekrasan pada anak dalam rumah tangga semakin marak dan meraja lela, para orang tua seperti mengabaikan adanya peraturan tentang perlindungan anak sehingga melakukan kekerasan pada anaknya. Dengan masalah yang semakin maraknya kekerasan tersebut maka penulis akan mengambil rumusan masalah sebagai berikut :

1. Apa saja yang menjadi faktor penyebab dan dampak dari terjadinya tindak kekerasan pada anak?

2. Bagaimana upaya hukum yang dilakukan terhadap perlindungan hukum atas anak yang menjadi korban tindak kekerasan pada rumah tangga?

C. Manfaat Penulisan

Penulisan ini diharapkan dapat bermanfaat bagi semua pihak. Adapun manfaat penulisan ini adalah :

a. Secara mikro diharapkan mampu menjelaskan tentang hak-hak anak, hukum anak, dan keadaan anak serta upaya yang dipergunakan sebagai sumber dan informasi untuk mengetahui lebih spesifik Konvensi Hak Anak.

b. Secara makro diharapkan penulisan ini menjadi kontribusi bagi penyadaran masyarakat guna membangun tatanan dunia yang lebih baik bagi anak.

D. Tujuan Penulisan

Tujuan penulisan ini adalah menjelaskan mengenai perlindungan hukum terhadap hak anak untuk bebas dari kekerasan dalam rumah tangga. Secara khusus tujuan dari penulisan ini adalah:

1. Untuk mengetahui faktor apa saja yang menjadi penyebab kekerasan pada anak.

2. Untuk mengetahui apa saja upaya hukum yang dilakukan terhadap perlindungan hukum atas anak yang menjadi korban tindak kekerasan pada rumah tangga.


TELAAH PUSTAKA

A. Penelitian Terdahulu

Aziwarti (2009) Kesimpulan a. Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) masih marak terjadi dalam keluarga masyarakat Minangkabau, walau dalam sistem kekerabatannya merupakan bentuk keluarga luas. Hal itu karena pola tempat tinggal yang telah berubah dari rumah gadang yang ditempati bersama oleh keluarga luas ke rumah pribadi yang ditempati keluarga inti. Kekerasan rumah tangga dipicu antara lain oleh; arogansi laki-laki kepada istri, persoalan pendapatan keluarga yang rendah, ketidak harmonisan keluarga mulai dari proses perkawinan sampai menjalankan rumah tangga, dan motif lain adalah suami melakukan poligami.

Endang (2006) Masalah KDRT bukan diakibatkan rendahnya pendidikan dan ekonomi rumah tangga, tetapi lebih banyak karena tidak harmonisnya dalam keluarga, kurang akrab antara ayah ibu dan anak.

Siti (2006) Faktor-faktor yang melatarbelakangi terjadinya kekerasan dalam rumah tangga adalah karena faktor ekonomi merupakan persentase yang paling banyak yaitu 30,8 % suami punyai WIL, selingkuh 16, 9 % masalah anak (termasuk mandul) 15,4 % tdak ada keterbukaan /kurang komunikasi 12,3 % ada yang karena faktor ekonomi dan anak dengan presentase 6,2 % ada yang karena seluruh faktor, yaitu ekonomi, anak, WIL dan tidak ada keterbukaan dengan presentase 6,2 %, karena ekonomi dan WIL sekaligus 3,1 % Ekonomi anak dam tiodak ada keterbukaan 1,5 % mabuk-mabuk 31 % dan ekonomi, WIL dan tidak ada keterbukaan 3,1%.

B. Landasan Teori

1. Pengertian anak

Menurut undang-undang No.23 Tahun 2002 Pasal 1 butir 1 Tentang Perlindungan Anak, bahwa anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun, temasuk anak yang masih dalam kandungan.

2. Hak dan Kewajiban anak

Hak Anak

Anak juga mempunyai hak dan kewajiban sebagai anak, dan hak anak tersebut antara lain setiap anak berhak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berispirasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, setiap anak berhak atas suatu nama sebagai identitas diri dan status kewarganegaraan dan anak juga berhak beribadah menurut agamanya, berpikir, dan berekspresi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya, dalam bimbingan orang tua, anak juga berhak menyatakan dan didengarkan pendapatnya, menerima, mencari, dan memberikan informasi sesuai dengan kecerdasan dan usianya demi pengembangan dirinya sesuai dengan nilai-nilai kesusilaan dan kepatutan, yang terpenting, setiap anak selama dalam pengasuhan orang tua, wali, atau pihak lain manapun yang bertanggung jawab atas pengasuhan berhak mendapat perlindungan dari perlakuan diskriminasi, eksploitasi, baik eksploitasi ekonomi maupun seksual, penelantaran , kekejaman, kekerasan, penganiayaan, ketidakadilan dan perlakuan salah lainnya.

Kewajiban Anak

Setiap anak berkewajiban untuk menghormati orang tua, wali, dan guru, mencintai keluarga, masyarakat, dan menyayangi teman, mencintai tanah air, bangsa dan negara, menunaikan ibdah sesuai dengan ajaran agamanya dan melaksanakan etika dan ahlak yang mulia.

METODE PENULISAN

A. Jenis Penulisan

Jenis Penulisan ini adalah normatif atau disebut juga dengan penulisan hukum doktrinal yang diknsepkan sebagai apa yang tertulis didalam peraturan perundang-undangan atau hukum dikonsepkan sebagai kaidah atau norma yang merupakan patokan perilaku manusia yang dianggap pantas.

B. Jenis dan Sumber Data

Data yang digunakan dalam penulisan ini adalah data sekunder, yaitu data yang diperoleh dari berbagai literatur.


ANALISIS DAN SINTESIS

Kekerasan pada anak child abuse secara klinis diartikan sebagai suatu tindakan yang dilakukan satu individu terhadap individu lain yang mengakibatkan gangguan fisik dan atau mental. Namun disini, masalah kekerasan dalam hal ini tidak saja diartikan sebagai suatu tindakan yang mengakibatkan gangguan fisik dan mental namun juga mengakibatkan gangguan sosial, karena kekerasan bukan saja dalam bentuk emosional, seksual dan fisik, namun juga dalam hal ekonom, seperti halnya dipaksa jadi pelacur, pembantu, pengamen, dan lain sebagainya. Kekerasan anak sama dengan pelanggaran HAM berat, yaitu mengabaikan hak asasi orang, mengakibatkan penderitaan fisik, mental dan sosial, mengganggu tumbuh kembang anak dan menghambat masa depan.

Seperti akhir triwulan pertama tahun 2007 lalu, muncul kasus dengan tingkat ekstrimitas yang tinggi, yakni sejumlah kasus pembunuhan anak oleh ibu kandungnya sendiri.

Faktor penyebab terjadinya kekerasan pada anak, secara keumuman disebabkan oleh suatu teori yang di kenal behubungan dengan stres dalam keluarga family stress. Stres dalam keluarga tersebut bisa berasal dari anak, orang tua, atau situasi tertentu. Stres berasal dari anak misalnya anak dengan kondisi fisik, mental, dan perilaku yang terlihat berbeda dengan anak pada umumnya. Bayi dan usia balita, serta anak dengan penyakit kronis atau menahun juga merupakan salah satu penyebab stres. Stres yang berasal dari gangguan jiwa psikosis atau neurosa, orang tua sebagai korban kekerasan di masa lalu, orang tua terlampau perfek dengan harapan pada anak terlampau tinggi, orang tua yang terbiasa dengan sikap disiplin. Stres berasal dari situasi tertentu misalnya orang tua diPHK (pemutusan hubungan kerja) atau pengangguran, pindah lingkungan, dan keluarga sering bertengkar.

Namun tentunya teori tersebut hanya melingkupi kekerasan dalam rumah tangga. Penyebab utama lainnya adalah, kemiskinan, masalah hubungan sosial baik keluarga atau komunitas, penyimpangan prilaku sosial (masalah psikososial). Lemahnya kontrol sosial primer masyarakat dan hukum dan pengaruh nilai sosial kebudayaan di lingkungan sosial tertentu.

Diantara dampak kekerasan pada anak adalah stigma buruk yang melekat pada korban diantaranya, Pertama, Stigma Internal yaitu, Kecenderungan korban menyalahkan diri, menutup diri, menghukum diri, menganggap dirinya aib, hilangnya kepercayaan diri, dan terutama adalah trauma. Kedua, Stigma Eksternal yaitu, kecenderungan masyarakat menyalahkan korban, media informasi tanpa empati memberitakan kasus yang dialami korban secara terbuka dan tidak menghiraukan hak privasi korban. Selain stigma buruk yang melekat pada korban, kejahatan pada anak juga dapat menghancurkan tatanan nilai etika dan social seperti halnya dampak buruk dari human trafficking.

Instrumen hukum yang mengatur perlindungan hak-hak anak diatur dalam Konvensi PBB tentang Hak-Hak Anak Convention on The Rights of The Child tahun 1989 , telah diratifikasi oleh lebih 191 negara. Indonesia sebagai anggota PBB telah meratifikasi dengan Kepres Nomor 36 th 1990. Dengan demikian Konvensi PBB tentang Hak Anak tersebut telah menjadi hukum Indonesia dan mengikat seluruh warga negara Indonesia.

Konvensi Hak-Hak Anak merupakan instrumen yang berisi rumusan prinsip-prinsip universal dan ketentuan norma hukum mengenai anak. Konvensi Hak Anak merupakan sebuah perjanjian internasional mengenai hak asasi manusia yang memasukan masing-masing hak-hak sipil dan politik, hak-hak ekonomi, sosial dan budaya. Secara garis besar Konvensi Hak Anak dapat dikategorikan sebagai berikut, pertama penegasan hak-hak anak, kedua perlindungan anak oleh negara, ketiga peran serta berbagai pihak (pemerintah, masyarakat dan swasta) dalam menjamin penghormatan terhadap hak-hak anak.

Ketentuan hukum mengenai hak-hak anak dalam Konvensi Hak Anak dapat dikelompokan menjadi:

1. Hak terhadap kelangsungan hidup (survival rights) Hak kelangsungan hidup berupa hak-hak anak untuk melestarikan dan mempertahankan hidup dan hak untuk memperoleh standar kesehatan tertinggi dan perawatan yang sebaik-baiknya. Konsekwensinya menurut Konvensi Hak Anak negara harus menjamin kelangsungan hak hidup, kelangsungan hidup dan perkembangan anak (Pasal 6). Disamping itu negara berkewajiban untuk menjamin hak atas tarap kesehatan tertinggi yang bisa dijangkau, dan melakukan pelayanan kesehatan dan pengobatan, khususnya perawatan kesehatan primer. (Pasal 24). Implementasinya dari Pasal 24, negara berkewajiban untuk melaksanakan program-program (1) melaksanakan upaya penurunan angka kematian bayi dan anak, (2) menyediakan pelayanan kesehatan yang diperlukan, (3) memberantas penyakit dan kekurangan gizi, (4) menyediakan pelayanan kesehatan sebelum dan sesudah melahirkan bagi ibu, (5) memperoleh imformasi dan akses pada pendidikan dan mendapat dukungan pada pengetahuan dasar tentang kesehatan dan gizi, (6) mengembangkan perawatan kesehatan pencegahan, bimbingan bagi orang tua, serta penyuluhan keluarga berencana, dan, (7) mengambil tindakan untuk menghilangkan praktik tradisional yang berprasangka buruk terhadap pelayanan kesehatan. Terkait dengan itu, hak anak akan kelangsungan hidup dapat berupa (1) hak anak untuk mendapatkan nama dan kewarganegaraan semenjak dilahirkan (Pasal 7), (2) hak untuk memperoleh perlindunga dan memulihkan kembali aspek dasar jati diri anak (nama, kewargnegaraan dn ikatan keluarga) (Pasal 8), (3) hak anak untuk hidup bersama (Pasal 9), dan hak anak untuk memperoleh perlindungan dari segala bentuk salah perlakuan (abuse) yang dilakukan orang tua atau orang lain yang bertangung jawab atas pengasuhan (Pasal 19), (4) hak untuk mmemperoleh perlindungan khusus bagi bagi anak- anak yang kehilangan lingkungan keluarganya

dan menjamin pengusahaan keluarga atau penempatan institusional yang sesuai dengan mempertimbangkan latar budaya anak (Pasal 20), (5) adopsi anak hanya dibolehkan dan dilakukan demi kepentingan terbaik anak, dengan segala perlindungan yang disahkan oleh pejabat yang berwenang (Pasal 21), (6) hak-hak anak penyandang cacat (disabled) untuk memperoleh pengasuhan, pendidikan dan latihan khusus yang dirancang untuk membantu

mereka demi mencapai tingkat kepercayaan diri yang tinggi (Pasal 23), (7) hak anak menikmati standar kehidupan yang memadai dan hak atas pendidikan (Pasal 27 dan 28).

2. Hak terhadap perlindungan (protection rights) Hak perlindungan yaitu perlindungan anak dari diskriminasi, tindak kekerasan dan keterlantaran bagi anak yang tidak mempunyai

keluarga, dan bagi anak pengungsi. Hak perlindungan dari diskriminasi, termasuk (1) perlindungan anak penyandang cacat untuk memperoleh pendidikan, perwatan dan latihan khusus, dan (2) hak anak dari kelompok masyarakat minoritas dan penduduk asli dalam kehidupan masyarakat negara. Perlindungan dari ekploitasi, meliputi (1) perlindungan dari

gangguan kehidupan pribadi, (2) perlindungan dari keterlibatan dalam pekerjaan yang mengancam kesehatan, pendidikan dan perkembangan anak, (3) perlindungan dari penyalahgunaan obat bius dan narkoba, perlindungan dari upaya penganiayaan seksual, prostitusi, dan pornografi, (4) perlindungan upaya penjualan, penyelundupan dan penculikan anak, dan (5) perlindungan dari proses hukum bagi anak yang didakwa atau diputus telah melakukan pelanggaran hukum.

3. Hak untuk Tumbuh Berkembang (development rights) Hak tumbuh berkembang meliputi segala bentuk pendidikan (formal maupun non formal) dan hak untuk mencapai standar

hidup yang layak bagi perkembangan fisik, mental, spiritual, moral dan sosial anak. Hak anak atas pendidikan diatur pada Pasal 28 Konvensi Hak Anak menyebutkan, (1) negara menjamin kewajiban pendidikan dasar dan menyediakan secara cuma-cuma, (2) mendorong pengembangan macam-macam bentuk pendidikan dan mudah dijangkau oleh setiap anak, (3) membuat imformasi dan bimbingan pendidikan dan ketrampIlan bagi anak, dan (4) mengambil

langkah-langkah untuk mendorong kehadirannya secara teratur di sekolah dan pengurangan angka putus sekolah. Terkait dengan itu, juga meliputi (1) hak untuk memperoleh informasi, (2) hak untuk bermain dan rekreasi, (3) hak untuk berpartisipasi dalam kegiatan budaya, (4) hak untuk kebebasan berpikir dan beragama, (5) hak untuk mengembangkan kepribadian, (6) hak untuk memperoleh identitas, (7) hak untuk didengar pendapatnya, dan (8) hak untuk memperoleh pengembangan kesehatan dan fisik.

4. Hak untuk Berpartisipasi (participation rights) Hak untuk berpartisipasi yaitu hak untuk menyatakan pendapat dalam segala hal yang mempengaruhi anak. Hak yang terkait dengan itu meliputi (1) hak untuk berpendapat dan memperoleh pertimbangan atas pendapatnya, (2) hak untuk mendapat dan mengetahui informasi serta untuk mengekpresikan, (3) hak untuk berserikat menjalin hubungan untuk bergabung, dan (4) hak untuk memperoleh imformasi yang layak dan terlindung dari imformasi yang tidak sehat.

Terhadap anak yang melakukan perbuatan pidana, penangkapan dan penahanan anak harus sesuai dengan hukum yang ada, yang digunakan hanya sebagai upaya terakhir. Anak yang

dicabut kebebasannya harus memperoleh akses bantuan hukum, dan hak melawan keabsahan pencabutan kebebasan.

Melalui Kepres Nomor 36 tahun 1990, Konvensi Hak Anak telah diratipikasi dan berlaku mengikat menjadi hukum Inodnesia. Melalui ratifikasi tersebut pemerintah Indonesia melakukan reservasi, yakni penundaan pelaksanaan beberapa pasal Konvensi Hak Anak. Dalam perkembangannya pada tahun 1994, pemerintah Indonesia telah melakukan pencabuan reservasi beberapa pasal, sehingga pasal yang direservasi tinggal pasal yang mengatur masalah hak anak untuk mengakses imformasi (Pasal 17), adopsi anak (Pasal 21), perlindungan anak dalam status pengungsi (Pasal 22).

Konsekwensi dari suatu negara melakukan ratifikasi perjanjian internasional seperti Konvensi Hak Anak, menurut Syahmin AK4 adalah: (1) Merumuskan/menyatakan atau menguatkan kembali aturan hukum internasional yang sudah ada; (2) Mengubah/menyempurnakan

ataupun menghapus kaidah-kaidah hukum internasional yang sudah ada, untuk mengatur tindakan-tindakan yang akan datang; (3) Membentuk kaidah-kaidah hukum internasional yang baru sama sekali yang belum ada sebelumnya. Sebagai negara yang telah melakukan ratifikasi Konvensi Hak Anak.

KESIMPULAN

Kesimpulan yang dapat diambil dari pembahasan penulisan ini adalah bahwa kita mengetahui faktor penyebab terjadinya kekerasan terhadap anak, banyak faktor pemicu kekerasan terhadap anak, kombinasi antara karakter, hubungan antar individu, masyarakat dan keseharian perilaku termasuk di dalamnya norma, kebiasaan budaya dan hukum. Faktor prnyebabnya antara lain adalah ketidakmampuan atau retardasi mental pada anak, isolasi sosial dari keluarga, orangtua kurang mengetahui akan kebutuhan dan perkembangan anak, orangtua yang memiliki riwayat kekerasan domestik (rumahtangga), kemiskinan dan strata sosioekonomi yang rendah, orangtua pengangguran, rumah tangga yang mengalami perpecahan, kekerasan, perceraian, isolasi dan intimidasi, hubungan keluarga yang tidak akrab, orangtua atau orangtua asuh yang masih terlalu muda, hubungan antara orangtua dan anak yang buruk, orangtua yang memiliki permasalahan atau gangguan emosi dan berpikir, orangtua yang sedang mengalami stres dan distress, termasuk di dalamnya depresi atau gangguan mental lainnya, community violence.

Pemerintah telah meratifikasi Konvensi Hak Anak yang menjadi hukum positif di Indonesia dan ini sudah menjadi dasar hukum bagi perlindungan anak selain itu juga diatur dalam UU No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

DAFTAR PUSTAKA

Soemitro, Irma Setyowati., Aspek Hukum Perlindungan Anak, Jakarta, 1990.

Siregar, Bismar dkk., Hukum dan Hak-hak Anak, Jakarta, 1986.

Joni, Muhammad., Aspek Hukum Perlindungan Anak dalam Perspektif Konveni Hak Anak, Bandung, 1999.